Sabtu, 24 Oktober 2009

BERJUANG UNTUK KEPENTINGAN SESAMA UMAT MANUSIA

THE EXCELLENT BIOGRAPHY
ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA






A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z




:: Beranda :: Berita :: Profesi :: Politisi :: Pejabat :: Pengusaha :: Pemuka :: Selebriti :: Aneka ::



Sabtu, 24 Oktober 2009


P E M U K A
► Pemuka
► Sesepuh
► Pahlawan
► Islam
► Kristen
► Katolik
► Hindu
► Buddha
► Agama Lain
► Adat-Golongan
► Legenda
► Majalah TI
► Nusantara
► Search
► Poling Tokoh
► Selamat HUT
► In Memoriam
► Redaksi
► Buku Tamu






ISLAM
PEMUKA AGAMA ISLAM


Google tokohindonesia.com

►Abdul Mukti Ali (1923-2004)

►Abdurrahman Wahid

►Abdussalam Panji Gumilang

►Achmad Mustofa Bisri, KH

►Achmad Sahal Mahfudz, KH Muhammad
►Ahmad Dahlan, KH (1868-1923)

►Ahmad Fuad Fanani

►Ahmad Syafi'i Ma'arif
►Ali Yafie, KH

►Amien Rais, HM

►Arifin Ilham

►Abu Bakar Ba’asyir

►Cholil Bisri, KH Muhammad

►Djohan Effendi

►Gymnastiar, KH Abdullah
►Hamka (1908-1981)

►Hasan Basri, KH

►Hasyim Asy'ari, KH (1875-1947)

►Hasyim Muzadi, KH

►Hussein Umar

► Idham Chalid, KH

►Mohammad Natsir (1908-1993)

►Munawir Sjadzali (1925-2004)

►M Ilyas Ruchyat, KH (1934-2007)

►Nurcholis Madjid
►Roem Rowi, HM

►Syafi'i Anwar, M, Dr

►Ulil Abshar Abdhalla

►Utomo Dananjaya

► Wahid Hasjim, Abd. KH (1914-1953)

►Yusman Roy

►Yusuf Hasyim, KH (1929-2007)

►Zaini Abdul Ghani, KH Muh (1942-2005)

►Zainuddin MZ, KH



Syaykh Abdussalam Panji Gumilang (11)
Pembawa Damai dan Toleransi

Pemimpin Ma’had Al-Zaytun ini adalah seorang beriman pembawa damai dan toleransi. Di ponpes modern ini, dimengembangkan budaya toleransi dan perdamaian. Bukan hanya dalam teori, wacana atau slogan, tetapi dalam aplikasi dan keteladanan. Dia selalu membimbing santrinya untuk membina persaudaraan dengan siapa pun.



Ahmad Syafi'i Ma'arif
Bersahaja dan Kritis

Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, ini dikenal sebagai seorang tokoh dan ilmuan yang mempunyai komitmen kebangsaan yang kuat. Sikapnya kritis, tegas, dan bersahaja. Ia tidak segan-segan mengkritik sebuah kekeliruan, meskipun yang dikritik itu adalah temannya sendiri.



K.H. Hasyim Muzadi
NU Bukan Demi Kekuasaan

Sebagai ormas terbesar dengan jumlah anggota mencapai 35 juta orang, warga NU tidak boleh dipertaruhkan untuk kepentingan sesaat. Kebesaran nama baik NU, bagi Ketua Umumnya KH Hasyim Muzadi, tidak boleh dipertaruhkan demi kepentingan kekuasaan. Ia juga ingin menjaga agar umat Islam, terutama kaum nahdliyin, tidak terkotak-kotak dalam politik aliran.



Djohan Effendi
Pemikir Islam Inklusif

Pada era pemerintahan Gus Dur, ia sempat menjabat Sektretariat Negara menggantikan Bondan Gunawan. Ia mampu menyejukkan lingkungan istana. Di kalangan peminat pemikiran Islam, namanya tidak asing. Ia sudah malang-melintang sebagai pemikir Islam inklusif yang sangat liberal. Dalam memahami agama, Djohan sampai pada kesimpulan: "pada setiap agama terdapat kebenaran yang bisa diambil."



KH M Achmad Sahal Mahfudz
Pendobrak Pemikiran Tradisional NU

Sosoknya sangat bersahaja. Bicaranya tenang, lugas, tidak berpretensi mengajari. Padahal KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz sangat disegani. Pada Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Donohudan, Boyolali, Jateng., Minggu (28/11-2/12/2004), dia dipilih untuk periode kedua 2004-2009 menjadi Rais Aam Syuriah PB NU.



KH Abdullah Gymnastiar
Tawarkan Manajemen Qalbu

KH Abdullah Gymnastiar, akrab disapa Aa Gym, mengajarkan sebuah konsep baru Syiar Islam. Manajemen Qalbu yang menawarkan diri untuk mengajak orang memahami hati atau qalbu, diri sendiri, agar mau dan mampu mengendalikan diri setelah memahami benar siapa dirinya sendiri. Ia kiyai yang disambut haru dengan tetesan air mata dan pelukan oleh umat Muslim maupun Kristen di Palu, daerah yang masih diwarnai konflik itu.



Prof Dr H Munawir Sjadzali MA (1925-2004)
Diplomat dan Pembaharu Islam

Bangsa Indonesia kehilangan seorang tokoh besar, diplomat santun dan pembaharu Islam. Mantan Menteri Agama (1983-1988 dan 1988-1993) dan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pertama (1996-1998), Prof Dr H Munawir Sjadzali MA meninggal dunia di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, Jumat 23 Juli 2004 pukul 11.20.



Hasyim Asy'ari, KH (1875-1947)
Ulama Pembaharu Pesantren

Hasyim Asy'ari, KH (1875-1947)Pendiri pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ini dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.



KH Achmad Mustofa Bisri
Sang Kiyai Pembelajar

Kiyai, penyair, novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan muslim, ini memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia kiyai pembelajar bagi para ulama dan umat. Pengasuh Ponpes Roudlatut Thalibin, Rembang, Jateng, ini enggan dicalonkan menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama dalam Muktamar NU ke-3.


Yusman Roy

Inti Agama Adalah Akhlak Mulia

Yusman Roy, pria kelahiran Surabaya 25 Februari 1955, dipenjara gara-gara mengajarkan salat dua bahasa. Tetapi, apa pandangan dia tentang akhlak dan keberagamaan? Berikut perbincangan Kajian Utan Kayu (KIUK) dengan Pengasuh Pondok Iktikaf Ngaji Lelaku, Malang itu, di Kantor Berita Radio 68H Jakarta, beberapa waktu lalu.




KH Ahmad Dahlan (1868-1923)

Pendiri Muhammadiyah

Ahmad Dahlan (bernama kecil Muhammad Darwisy), adalah pelopor dan bapak pembaharuan Islam. Kyai Haji kelahiran Yogyakarta, 1 Agustus 1868, inilah yang mendirikan organisasi Muhammadiyah, 18 November 1912. Pahlawan Nasional ini wafat pada usia 54 tahun di Yogyakarta, 23 Februari 1923.



Mohammad Natsir (1908-1993)
Perjuangkan Islam Dasar Negara
Mohammad Natsir, politisi Islam handal yang teguh pada prinsip dan cita-cita. Pria kelahiran Alahan Panjang, Sumbar, 17 Juli 1908, ini memimpin Partai Masyumi, yang merupakan gabungan partai-partai Islam di Konstituante, yang secara sungguh-sungguh memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.



KH Wahid Hasjim (1914-1953)

Menteri Agama Tiga Kabinet

KH Wahid Hasjim adalah pahlawan nasional, salah seorang anggota BPUPKI dan perumus Pancasila. Putera KH M Hasyim Asy’ari, pendiri NU, ini lahir di Jombang, 1 Juni 1914 dan wafat di Cimahi, 19 April 1953. Ayahanda Gus Dur ini menjabat Menteri Agama tiga kabinet (Kabinet Hatta, Natsir dan Sukiman).


Idham Chalid, KH

Ulama & Politisi Pelaku Filosofi Air

KH Idham Chalid kelahiran Satui, Kalsel, 27 Agustus 1921, seorang ulama dan politikus pelaku filosofi air. Dia tokoh Indonesia yang pernah menjabat Wakil Perdana Menteri, Ketua DPR/MPR, dan Ketua Umum PB NU. Juga pernah memimpin pada tiga parpol berbeda yaitu Masyumi, NU dan PPP.



Muhammad Ilyas Ruchyat, KH (1934-2007)

Ajengan Pesantren Cipasung

Mantan Rois Aam PB Nahdlatul Ulama (1994-1999) dan Pemimpin Pondok Pesantren Cipasung Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, KH Muhammad Ilyas Ruchyat meninggal dunia hari Selasa 18 Desember 2007 pukul 16.15 di kediamannya di Pondok Pesantren Cipasung karena sakit.



Buya Hamka (1908-1981)

Ulama, Politisi dan Sastrawan Besar

Buaya Hamka seorang ulama, politisi dan sastrawan besar yang tersohor dan dihormati di kawasan Asia. HAMKA adalah akronim namanya Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Lahir di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981.



KH Yusuf Hasyim (1929-2007)

Mustasyar Ponpes Tebuireng

Sesepuh NU dan Mustasyar Ponpes Tebuireng, Jombang, KH Yusuf Hasyim, kelahiran Jombang, 3 Agustus 1929, yang akrab dipanggil Pak Ud, meninggal dunia 14 Januari 2007 pukul 18.40 di RSUD Dr Soetomo Surabaya. Putra pendiri NU KH Hasyim Asy’ari, itu meninggal akbat radang paru-paru.



Syaykh Dr Abdussalam Panji Gumilang
Interdependensi, Fitrah Manusia

IDUL FITRI 1427 H: Beraktivitas untuk mencapai masa depan terhormat, memerlukan pengendalian diri, masing-masing pada proporsinya. Itulah wujud interdependensi. Syaykh al-Zaytun AS Panji Gumilang mengemukakan hal itu pada Khutbah ‘Ied al-Fithri 1427 H/2006 M, di Kampus Al-Zaytun, 24 Oktober 2006.



M Syafi'i Anwar (01)

Pluralisme, Bukan Sekadar Toleran

Wacana pluralisme kini kembali memperoleh relevansinya dengan terjadinya berbagai peristiwa yang mengganggu hubungan antarpenganut agama-agama di Indonesia. Namun, pluralisme sering dipahami secara salah dengan menganggap menyamakan semua pandangan agama-agama yang berbeda.



Abu Bakar Ba’asyir

Tak Terlibat Teroris & Bom Bali

Ketua Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba’asyir yang akrab dipanggil Ustadz Abu, divonis MA bebas dari dakwaan terkait dengan kasus terorisme dan peledakan bom di Bali. Pemimpin Pondok Pesantren Al Mu'min, Solo, kelahiran Jombang, 17 Agustus 1938, itu sebelumnya dihukum PN selama 2,5.



OPINI: Ahmad Fuad Fanani
Pluralisme dan Kemerdekaan Beragama

Pluralisme agama dalam sebuah komunitas sosial menjanjikan dikedepankannya prinsip inklusivitas. Sebab, pada dasarnya masing-masing agama mempunyai berbagai klaim kebenaran yang ingin ditegakkan terus, sedangkan realitas masyarakat terbukti heterogen secara kultural dan religius.



OPINI: Syamsul Arifin
Islam Radikal Memang Ada

Islam radikal atau Islam garis keras tidak pernah berhenti dibicarakan. Kali ini genre Islam tersebut kembali memantik kontroversi menyusul pernyataan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono tentang adanya partai Islam yang disusupi kelompok Islam garis keras.



Prof Dr HM Roem Rowi, MA

Penyelami Rahasia Al-Qur’an

Doktor Ilmu Tafsir, ini seorang berkepribadian ulet, tidak kenal menyerah. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur (2000-2005) ini seorang penyelami rahasia Al-Qur’an terkemuka di Indonesia. Guru Besar Ilmu Al-Quran Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya, ini tak pernah berhenti menyelami rahasia Ilahi dan mengkaji sistematika Allah dalam Al-Qur’an.



Nurcholis Madjid (1939-2005)

Berpulang Dalam Damai

Ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia, itu menghembuskan nafas terakhir dengan wajah damai setelah melafalkan nama Allah, Senin 29 Agustus 2005 pukul 14.05 WIB di RSPI, Jaksel. Cendekiawan kelahiran Jombang, 17 Maret 1939, itu meninggal akibat penyakit hati.



Prof. DR. H. Abdul Mukti Ali (1923-2004)
Cendekiawan Islam yg Pluralis

Dia adalah tokoh pembaru Islam yang mempelopori liberalisme pemikiran Islam di era Indonesia modern. Selain sebagai penggagas liberalisme Islam di Indonesia, Prof Dr HA Mukti Ali terkenal sangat moderat dan mau menghargai pluralisme, baik internal masyarakat Islam maupun eksternal di luar Islam.



KH Hasan Basri
Ketua Umum MUI Pertama

Dia Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama. Ulama kelahiran Muara Teweh, kota kecamatan sekitar 600 km sebelah utara Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 20 Agustus 1920, itu adalah penggagas bank syariah di Indonesia yang ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI).


Prof KH Ali Yafie
Ulama Ahli Fiqh

Prof KH Ali Yafie, mantan Ketua Umum MUI, seorang ulama ahli Fiqh (hukum Islam). Dia ulama yang berpenampilan lembut, ramah dan bijak. Pengasuh Pondok Pesantren Darul Dakwah Al Irsyad, Pare-Pare, Sulsel, ini juga terbilang tegas dan konsisten dalam memegang hukum-hukum Islam.



KH Muh Zaini Abdul Ghani (1942-2005)
Ulama Karismatik Sekumpul
Ulama karismatik asal Sekumpul Kota Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, KH Muhammad Zaini Abdul Ghani (63) atau lebih akrab disebut Guru Ijai atau Guru Sekumpul, tutup usia Rabu 10 Agustus 2005 pagi sekitar pukul 05.10 Wita di kediamannya, Sekumpul Martapura.



Ulil Abshar Abdhalla

Koordinator Jaringan Islam Liberal

Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Direktur Freedom Institute, Jakarta, ini lahir di Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1967. Dia berasal dari keluarga Nahdlatul Ulama. Ayahnya Abdullah Rifa'i dari pesantren Mansajul Ulum, Pati, sedang mertuanya, KH Mustofa Bisri, pengasuh pesantren Raudlatut Talibin, Rembang.



Copyright © 2002-2009 Ensikonesia - Ensiklopedi Tokoh Indonesia. All right reserved. Penerbit pt AsasirA. Design and Maintenance by Esero

Melarang Orang Menggunakan Bahasa Non-Arab dalam Shalat, Bertentangan dengan UUD

Juni 12, 2007 in Wawancara | by anick

Melarang Orang Menggunakan Bahasa Non-Arab dalam Shalat, Bertentangan dengan UUD

Melarang Orang Menggunakan Bahasa Non-Arab dalam Shalat, Bertentangan dengan UUD

Acara Kongkow Bareng Gus Dur yang disiarkan oleh radio Utankayu 89,2 FM dan dipancarluaskan oleh jaringan KBR 68H dari Aceh sampai Papua ini semakin menarik. Sudah minggu ini acara yang digelar di Kedai Tempo Jakarta ini ditayangkan di beberapa televisi lokal, yaitu JTV (Jawa Timur), Kendari TV (Sulawesi Tenggara), Bengkulu TV (kalimantan Timur)

Untuk tema pada Sabtu pagi, 9 Juni, ini adalah mengenai Pribumisasi Islam. KH Abudrrahman Wahid masih setia ditemani oleh Guntur Romli sebagai moderator dan KH Wahid Maryanto yang akrab disapa pak Acun.

Berikut transkip awal Kongkow Bareng Gus Dur yang mengundang narasumber dari Malang Jawa Timur, yaitu Yusman Roy. Dia adalah mantan petinju yang baru saja keluar dari penjara karena divonis 2 tahun atas kasus menyebarkan shalat dua bahasa, Arab dan Indonesia.

Guntur Romli : Assalamu’alaikum wr wb. Anda bersama acara Kongkow Bareng Gus Dur dari KBR 68H Jakarta bekerjasama dengan School for Broadcast Media Jakarta. Acara ini juga dipancarluaskan oleh radio-radio jaringan KBR 68H dari Aceh hingga Papua dan beberapa televisi di kawasan Indonesia.

Saudara, saya Guntur Romli, akan menemani Anda baik yang berada di Kedai Tempo ataupun Anda yang berada di rumah berbincang-bincang dengan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang saat ini sudah berada di Kedai Tempo bersama kita.

Kita sapa dulu, Gus Dur Assalamu’alaikum?

Gus Dur : Wa’alaikumsalam.

Guntur : Apa kabar Gus Dur, baik-baik saja?

Gus Dur : Baik-baik.

Guntur : Ada juga pak Acun, apa kabar, baik-baik saja pak?

Pak Acun : Alhamdulillah.

Guntur : Dan ada seorang narasumber yang akan menemani Gus Dur untuk berbincang-bincang hari ini yaitu pak Yusman Roy dari Malang. Assalamu’alaikum pak Yusman? Apa kabar?

Yusman: Alhamdulillah, sehat.

Guntur: Baiklah, saudara sekalian kita mulai berbincang mengenai topik hari ini, namun sebelum itu pak Acun akan membacakan petikan dari kitab Al-Hikam. Silahkan pak Acun.

Pak Acun : Bismillâhirahmânirrâhim. Liyunfiq dzû sa’atin min sa’atihi al-wasilûna ilaihi. Wa man futhira alaihi sairuna ilaihi. Supaya menafkahkan bagi yang mampu dari sebagian hartanya. Itulah yang dikatakan al-wasilûn. Dan bagi orang-orang yang tidak mampu, laksanakan sesuai dengan kemampuannya. Itulah yang namanya al-sailûn.

Pada surat At-Thalaq ayat 7 dinyatakan , “Liyunfiq dzû sa’atin min sa’atihi, wa man qudira ‘alaihi rizquhu falyunfiq mimmâ atâhullahu. La yukallifullâhu nafsan illa ma atâha, sayaj’alallâhu ba’da ‘usrin Yusra.” Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.

Konotasinya saya minta penjelasan ba’da ‘usrin yusra (setelah kesulitan, ada kemudahan) dengan liyunfiq dzû sa’atin min sa’atihi (supaya yang mampu memberi reizki dari kekayaannya), tampaknya kok tidak menemukan yusra (kemudahan)-nya itu. Saya minta penjelasan ba’da usri yusro-nya dengan yunfiq dzû sa’atin min sa’atihi.

Gus Dur : Di sini Hikam berbicara mengenai kemampuan Tuhan. Tuhan itu ya Mahamampu. Lalu orang semuanya itu mengharapkan sesuatu yang menentukan juga Tuhan. Itu maksudnya. Ada pun kok enggak kelihatan yusro-nya. Lho yusro-nya itu kelihatan atau tidak itu kan tergantung Tuhan. Ada kalanya diperlihatkan adakalanya tidak. Seperti kata-kata Hikam juga di bagian lain; al-man’u ainul atho’. Pencegahan itu hakekat pemberian.

Jadi orang itu walaupun tidak beri, belum tentu dia itu tidak diberi. Jangan-jangan dia diberi tapi tidak diperlihatkan. Dan ini bagi Anda yang berfikiran rasionalistik, ini enggak masuk akal. Tapi bagi yang berfikiran double, yaitu fikiran yang rasionalistik dan fikiran yang sifatnya intuitif. Ini dua-duanya dipakai bareng-bareng. Saya rasa itu.

Guntur : Oke terima kasih atas penjelasannya Gus. Baiklah, tema hari ini tentang pribumisasi Islam. Tema ini sudah banyak dibicarakan oleh Gus Dur sejak tahun 1980-an, banyak menulis arikel tentang itu. Dan pagi ini kita coba untuk melihat Pribumisasi Islam dalam konteks lain, yaitu bagaimana Islam menjawab, bagaimana Islam dipahamkan dengan konteks ke-Indonesi-an sekarang ini.

Dan pagi ini sudah hadir Pak Yusma Roy dari Malang yang dikenal dengan inisiatif shalat dengan dua bahasa, yaitu Arab dan Indonesia. Dan atas inisiatif itu, Yusman Roy harus mendekam di penjara karena tuduhan penodaan agama dan beliau sudah bebas. Pada saat ini dia ke Jakarta dan berkunjung ke teman-teman LSM yang ada di Jakarta, dan akan menemani kita berbincang-bincang dengan Gus Dur pada pagi ini.

Baik, pertama kali saya ingin bertanya pada Pak Yusman Roy, apa alasan-alaan Pak Roy menggunakan bahasa Indonesia dalam shalat? Apa sih gagasan dasar dari Pak Yusman?

Yusman : Terima kasih. Sehubungan dengan yang baru saja disampaikan oleh Bapak kita, Gus Dur, yassarna’hu bi lisânika. Jadi berbahasa dalam melaksanakan peribadatan kepada Allah itu akan lebih efektif kalau itu dilisankan dengan bahasa masing-masing pribumi. Karena pada dasarnya bahasa Arab itu tidak identik dengan Islam.

Al-dînu an-nâsihatu; agama itu budi pekerti, bukan bahasa. Sehingga dari golongan kami yang sudah bertaubat ini ingin memperbaiki kualitas kepribadian melalui shalat karena ada jaminan di situ, inna al shalâta tanhâ ani al fahsyâ’i wa al munkar, sesungguhnya shalat dapat mencegah dari perbuatan yang jahat dan munkar.

Karena terbentur masalah bahasa dari golongan kami, orang-orang yang sudah terlambat belajar ilmu bahasa Arab, ini banyak mengalami kesulitan untuk memahami, sehingga saya mencarikan dasar-dasar hukum kurang lebih 6-7 tahun setelah saya sharing. Dan kebanyakan ulama dan kiai juga ada yang menyatakan itu benar tapi tidak pantas untuk disampaikan. Jadi tegasnya para ulama itu tidak punya keberanian untuk menyampaikan sesuatu itu benar.

Setelah ini saya sampaikan ternyata membawa dampak yang tidak menyenangkan bagi diri saya pribadi dan jamaah saya. Saya ditangkap, dipaksakan oleh Majelis Ulama Indonesia agar berbahasa Arab. Ini yang memberatkan kami. Dua pilihan: kembali shalat sebagaimana umumnya tanpa disertai terjemahan atau penjara. Ya saya pilih penjara saja, enggak papa.

Tapi berkat statement bapak-bapak cendekiawan termasuk Gus Dur yang memberikan penjelasan, pencerahan, saya terbebas dari dakwaan penodaan agama. Yang tadinya saya didakwa pasal penodaan agama, pasal 156 KUHP yang ancaman hukumannya lumayan, 5 tahun penjara.

Guntur : Jadi berapa lama Anda menjalani di penjara?

Yusman : Saya divonis 2 tahun tapi saya mendapat remisi dan remisi, jadi saya menjalani satu setengah tahun saja.

Guntur : Wah, kalah sama Tomy (Soeharto) ya pak, yang mendapar banyak remisi. Oh ya tentang bahasa, apakah ada perubahan-perubahan mendasar pada pak Yusman dan jamaahnya ketika menggunakan bahasa Indonesia atau pribumi?

Yusman : Manfaatnya besar sekali terutama pada saya, teman-teman saya, karena saya dulu berasal dari dunia jahiliyah, dunia preman. Mereka dapat berhenti dari kemungkaran itu berkat shalat yang bacaannya ini dibaca sang imam beserta terjemahan. Ini memang dituntut imam yang cerdas, yang mampu membaca situasi dan kondisi, kemudian ketika imamnya memimpin jamaah itu memberikan pesan-pesan moral.

Karena bahasanya tadi disertai dengan bahasa kaum, makmumnya enak sekali. Bahasanya komunikatif, sehingga bertahap, pelan-pelan dia berhenti dari minum, judi, suka memukul, anarkis, dan sebagainya. Semuanya berhenti, terarah. Inilah yang saya namakan shalat yang berkualitas. Yang saya khawatirkan kalau gagal shalat.

Gagal shalat ini, orang yang shalat tapi masih jahat. Wah ini yang berat menurut saya. Ini yang saya kira diambil manfaatnya shalat dengan dua bahasa.

Guntur : Gus Dur, mungkin ada tanggapan dari ungkapannya Yusman Roy?

Gus Dur : Keputusan seperti itu, melarang orang membaca di luar bahasa Arab dalam shalat, itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Jadi Majelis Ulama Malang bertentangan dengan UUD. Makanya saya katakan kepada beliau (Yusman), tunggu saja empat bulan lagi nanti kita beresin pelanggaran UUD itu.

Guntur : Kalau dari tinjauan agama bagaimana?

Gus Dur : Kalau dari agama ya tidak ada masalah. Fikihnya kan bilang begitu. Artinya mau pakai bahasa apa juga boleh.

Guntur : jadi tidak ada larangan?

Gus Dur : Enggak ada. Cari ke tempat saya kalau ada larangan. Bawa ke saya.

Sumber: Syir’ah, 12 Juni 2007

Rabu, 21 Oktober 2009

Mensyukuri Anugerah Keragaman dengan Merayakannya Posted on 09. Mar, 2008 by

Oleh L. Riansyah

UBLIK-JB-I-Maret-2008. Roibin M. HI menyatakan bahwa akar kasus penyesatan yag selama ini terjadi adalah karena praktik keberagamaan kita yang mementingkan aspek formalitas. Agama menurut Dosen UIN Malang ini adalah sebuah relasi antara manusia dan tuhan. Melalui ritual, dialog antara sang hamba dengan sang pencipta bisa terjadi kapanpun dan di manapun. Tentunya ritual keagamaan menjadi wilayah privacy yang tidak penting orang lain tahu. Maka, ekspresi dan artikulasi terhadap keyakinan tidak seharusnya dipamerkan ke orang lain. Ritual keagamaan ketika diekspose secara berlebihan tak jarang memunculkan persinggungan dengan entitas keberagamaan lain. Terlebih, jika artikulasi keberagamaan ini berangkat dari tafsir yang berbeda dari pemahaman mainstream.

Inilah yang menjadi sebab terjadinya konflik antar aliran belakangan ini. Fakta itu setidaknya bermunculan dalam lima tahun terakhir. Dalam kesimpulan Roibin, jika persinggungan keberagamaan ini tidak bisa dikelola dengan arif tentunya akan terjadi konfllik identitas dan kepentingan yang salah satunya manifest melalui kasus-kasus penyesatan yang terjadi.

Itu yang setidaknya terungkap dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Perempuan Antar Umat Beragama (PAUB) beberapa saat yang lalu. Diskusi seperti ini mengingatkan saya kepada sosok Yusman Roy, penggagas sholat dua bahasa yang kini sudah menghirup udara bebas setelah dua setengah tahun meringkuk dalam bui. Saya kemudian berandai, jika saja Yusman Roy tidak terlalu ekspresif dalam menyuguhkan tafsir minornya tentang sholat dengan dua bahasa, mungkin dia tidak perlu berjibaku dalam ruang labirin yang berkepanjangan. Pada titik ini, apa yang dikatakan Roibin di atas ada benarnya. Saya kemudian berguman, mengapa Yusman Roy bersusah payah meladeni media massa yang mengakibatkan dia harus berkonfrontasi dengan banyak orang? Mengapa dahulu dia menyebarkan ratusan brosur dan puluhan VCD sekedar mengundang orang untuk mengetahui dan bisa memahami apa yang dia ijtihadkan? Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian muncul dan seakan menyalahkan Yusman Roy, mengapa dia berambisi mengajak semua orang untuk mengikuti “kebenaran” yang dia dapatkan?

Sudahlah Gus, untuk sekarang yang penting adalah bagaimana sampean bisa leluasa menjalankan ibadah sesuai dengan yang sampean yakini beserta keluarga dan jamaah di sini. Demikian pesan yang sering saya sampaikan ketika beberapa kali berkunjung dan berdiskusi di padepokannya di Desa Sumber Waras, Kecamatan Lawang Kabupaten Malang. Agama dan keyakinan seharusnya menjadi ruang privat sehingga tidak ada satu orangpun berhak untuk mengadili.

Fatwa sesat juga dialami oleh Ali Thoha, seorang pengasuh pesantren di Desa Ngajum. Pesantren milik Ali Thoha ini adalah pesantren sederhana yang sudah ada sejak 40 tahun yang lalu. Memang santrinya tidak banyak, tidak ada papan nama, tidak ada listrik, tidak ada telepon, dan pengasuhnya sangat jarang bersentuhan dengan dunia luar. Pesantren di Dukuh Lowokgempol Desa Ngajum Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang ini menurut saya lazimnya seperti pesulukan thoriqoh tempat para penyuka lelaku melakukan riyadhoh, tempat mereka melakukan uzlah sejenak dari dunia yang fana’, dari gemerlap materi yang melenakan. Tapi mengapa pesantren ini mendapatkan fatwa sesat dai MUI?

Kabar yang berkembang di masyarakat menyebutkan bahwa ajaran yang dikembangkan oleh Ali Thoha adalah sesat karena sholat tidak wajib. Yang dianjurkan dalam ajaran pesantren ini adalah puasa seumur hidup. Kabar inilah yang dijadikan MUI untuk menakar “kualitas kebenaran” ajaran Ali Thoha. Berbagai rujukan dalil ditumpahkan dalam SK MUI sekedar untuk menegaskan bahwa sholat adalah syariat yang wajib. Al farqu bainana wa baina hum ash sholah, faman tarokaha faqod kafaro. Hadits yang disitir dari Kitab Riyaadush Shaalihin ini adalah salah satu dalil yang sempat terbaca dalam draf surat fatwa itu. Rasa penasaranpun menuntun saya untuk mencari tahu mengapa ajaran Ali Thoha disesatkan. Ketika berkunjung ke Ngajum, putera Ali Thoha menjelaskan kepada saya bahwa yang dia ajarkan adalah sholat sirri, sholat yang dilakukan dengan sembunyi. Dia dan ayahnya tidak pernah mengajarkan bahwa sholat tidak wajib.

Kasus Ali Thoha jelas berbeda konteksnya dengan kasus Yusman Roy. Menurut pengamatan saya, Ali Thoha dan pengikutnya tidak ekspresif dalam menjalankan keyakinannya. Bahkan komunitas di pesantren ini nampak sangat tertutup sebagai buah dari prinsip wara’ yang mereka pegang. Sebagai outsider, kita mungkin tidak terbiasa mendialogkan perbedaan secara arif dan berimbang, sehingga memandang the others dengan sudut pandang sepihak. Bahkan ada sebagian dari kita tidak terbiasa dan tidak bisa untuk berbeda. Ketika ada sesuatu yang berbeda selalu dianggap “aneh”, salah, bahkan harus dimusuhi.

Konon orang bijak berkata bahwa perbedaan adalah rahmat. Rahmat tuhan tentu harus kita syukuri. Ketika pluralitas hidup meniscayakan keragaman cara orang dalam mengartikulasikan nilai-nilai hidup, mengapa anugerah itu tidak kita sambut dengan suka cita? Tuhan terlalu agung untuk dimiliki satu umat, apalagi satu orang saja. Tuhanpun juga amat pengasih sehingga Dia membukakan jutaan bahkan milyaran pintu bagi makhluq nya untuk bertemu dengan-Nya. Jalan menuju tuhan terlalu sesak jika harus ditunggalkan. Agamapun terlalu kaya jika hanya ditafsirkan oleh satu warna. Kontekstualitas yang berakar pada dimensi ruang, waktu, dan dimensi subyektif, niscaya selalu hadir dalam menafsirkan dan mengartikulasikan ajaran agama.

Perbedaan tafsir sah-sah saja. Hanya, cara mengekpresikannya butuh kebijaksanaan. Salah satunya adalah melalui dialog. Dialog yang memberikan mashlahat adalah dialog yang dilambari spirit saling memahami dan saling membuka diri (open mainded). Dialog yang bertujuan memaksakan kebenaran apalagi untuk menghakimi, tidak akan memberikan kemanfaatan apapun. Tuhan tidak akan merasa terbela, bahkan Dia akan merasa sedih karena nama-Nya dan firman-Nya dijadikan alat untuk bertengkar. Keberadaan institusi agama yang difungsikan untuk menghakimi keyakinan sudah saatnya untuk direnung ulang. Jika ada “aliran sesat” biar tuhan sendiri yang menghukumnya nanti di hari pembalasan. Siapaun tidak berhak menghakimi keyakinan orang lain. Apa ukurannya seseorang dinilai sesat?

Bayangkan, jika MUI dikuasai oleh kalangan liberal tentu lembaga ini akan difungsikan untuk menyesatkan kelompok konservatif. Jika MUI dikuasai oleh Syi’ah pasti akan digunakan untuk menyesatkan kaum Sunny. Bagaimna jika Ketua Umum MUI Pusat dipegang oleh Yusman Roy, atau Ali Thoha, ataupun Abu Yatim? Sekali lagi, MUI ataupun institus agama sejenis tidak akan memberi mashlahat jika tugasnya menentukan mana yang sesat dan mana yang tidak sesat. MUI seharusnya menjadi jembatan dialog antar perbedaan tafsir sehingga menjadi kekayaan umat. Di sini, MUI ditantang untuk membuktikan bahwa perbedaan adalah rahmat.

Tujuan orang untuk beragama bukan untuk menimbang kebenaran yang dimilikinya apalagi mengkoreksi keyakinan orang lain. Agama adalah mata air yang darinya kita timba kejernihan untuk menyegarkan semesta dan memberikan kesejukan kepada penghuni dunia. Perbedaan penafsiran seharusnya menjadi alasan untuk berlomba memberikan yang terbaik bagi kemanusiaan, keadilan, moralitas dan cinta kasih. Jika penganut agama dan keyakinan bisa menempatkan agama seperti ini, maka perbedaan hidup akan berubah menjadi rahmat bagi semua, dan agama mewujud menjadi berkah bagi semesta alam.

Red: UBLIK adalah Kolom Levi Riansyah, Direktur Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (PUSPeK) Averroes, dan menjadi Penanggungjawab Majalah Jelajah Budaya online ini

L. Riansyah

Fatwa Malaikat Jibril arrow 2005 arrow Shalat Dua Bahasa

Sebuah penjeraan dapat menghasilkan kesucian.
(Sapaan Malaikat Jibril, 17 Mei 2005)

Home arrow Fatwa Malaikat Jibril arrow 2005 arrow Shalat Dua Bahasa
Shalat Dua Bahasa PDF Print E-mail
Fatwa Malaikat Jibril - 2005
Article Index
Shalat Dua Bahasa
Babi Tak Haram Lagi
Surga di Dunia
Dua Surga
Imam Mahdi Ditolak
Keluarga Bung Tomo
Penebusan Dosa Umat
Pencantuman Foto di Al Quran
Pemburu Hantu di TV
Fatwa untuk MUI
Nasib Koruptor KPU
Wahyu Tuhan
Page 10 of 12

Dan inilah fatwaku bagi MUI atas kejadian ini:

“Kandungan Al Jatsiyah ayat 23 ini kupadukan kekuatannya dengan sumpah Muhammad Yusman Roy yang bersedia diazab Allah bila dia salah dan sesat, sebagai landasan turunnya azab bagi yang bersalah dalam peristiwa kejadian ini. Adalah MUI yang telah mengeluarkan fatwa, dan adalah Kepolisian Malang yang menahannya, dan adalah Bupati Malang yang telah mengeluarkan keputusan penghentian kegiatan Muhammad Yusman Roy dan jamaahnya. Kuhadapkan kepadamu kekeramatan Surat Al Jatsiyah ayat 23 yang menjadi landasan Tuhan menerangkan asas hukum-Nya mengadili MUI dan semua yang terlibat menghakimi Muhammad Yusman Roy dan jamaahnya.

Dan adalah sumpah Muhammad Yusman Roy yang diucapkan kepada media massa yang disambut Allah. Kukabarkan kedua hal itulah yang terjalin menjadi kekuatan membawa turun azab-Nya untuk mereka semua. Begitulah ancaman kebutaan untuk mereka yang menghakimi kebenaran. Butalah mata mereka, sebuta hatinya. Camkanlah itu sebagai ancamanku bilamana kau tak segera memulihkan penindakan terhadap Muhammad Yusman Roy dan pesantrennya”.

Sebaik-baik fatwa adalah yang mempertimbangkan kebenaran yang sejati. Adalah sebuah kebenaran sejati bagi kaum santri Pesantren I’tikaf Ngaji Lelaku yang menerjemahkan ayat-ayat Al Quran dalam shalatnya. Dan kami bersaksi atas nama Tuhan Yang Disembah, bahwa tiadalah mereka salah dan sesat. Seperti itulah kebenaran maksud yang terkandung dalam Surat Ad Dukhan ayat 58 dan Surat Al Qamar ayat 17, 22, 32 dan 40:

Surat Ad Dukhan ayat 58:

Ad Dukhaan ayat 58

“Sesungguhnya Kami mudahkan Al Quran itu dengan bahasamu supaya mereka mendapat pelajaran”.

Surat Al Qamar ayat 17, 22, 32, dan 40:

Al Qamar ayat 17

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”

Sungguh, semua ayat-ayat tersebut bila diamalkan, jadilah seperti apa yang dihayati oleh Ustadz Muhammad Yusman Roy dan jamaahnya. Janganlah menghakimi orang-orang yang beriman dan yang beribadah dengan baik. Wahai kaum MUI Malang, daerah tempat tinggalmu itu sangat dekat dengan sumber kemusyrikan di Gunung Kawi. Cobalah kautengok tempat itu. Apakah kesalahan mereka di sana itu tak terlalu buruk bagimu sehingga kemusyrikan mereka kaubiarkan? Dan apakah ibadah jamaah Pesantren I’tikaf Ngaji Lelaku itu sangat berbahaya sehingga sumber kemusyrikan di Gunung Kawi tak kaularang sebagaimana penghakiman terhadap Muhammad Yusman Roy? Sungguh tak adil Anda itu!

Atas Nama Allah Yang Disembah, di zaman dahulu kutuntunkan ibadah yang benar kepada Nabi Muhammad. Kujawabkan segala pertanyaannya dahulu kepadaku. Akulah pembimbingnya bershalat sehingga shalat itu kekal hingga kini. Maka, kepadaku pulalah terpulang hal-hal yang dipertanyakan perihal shalat nabi. Para mukmin mengaji dan bershalat mencari hidayah Tuhan. Ustadz Muhammad Yusman Roy dan jamaahnya mencari hidayah dengan cara baru. Maukah melihat itu tak seperti shalat-shalat sunnah yang banyak dikarang-karang tapi tak mengena? Sungguh banyak macam shalat sunnah yang merupakan bid’ah. Karena sesungguhnya, Tuhan itu sudah jenuh dengan hiruk-pikuk dzikir dan heran melihat begitu banyak shalat sunnah yang bid’ah.

Mengapa tak kaupikirkan itu dan kauluruskan dengan fatwamu? Hiruk-pikuk berdzikir itu kataku adalah cara ibadah yang tak mengena. Tuhan Maha Mulia dan Maha Kuasa. Kaupuji-puji pun kalau tak sambil mensucikan diri, pujian kepada-Nya itu takkan digubris oleh-Nya. Tak berkurang maupun bertambah kemuliaan Tuhan yang nama-Nya heboh didzikirkan kepada-Nya. Tuhan Maha Akbar dan Maha Agung. Dia tak melihat dzikiran itu menambah keimanan tapi lebih pada keborosan ibadah. Untuk apa menyebut pujian kepada Tuhan sebanyak itu, bukannya berterus terang saja secara langsung membicarakan kebutuhanmu dalam doa-doamu?

Rahmat Allah tertuju kepada orang saleh yang sering berbuat baik dan yang tak suka berbuat keonaran dan kesalahan atau orang yang bertaubat menyesali perbuatan dosa-dosanya. Jadikan saja dirimu seperti itu. Tanpa repot-repot berdzikir pun Anda penuh rahmat. Berdzikir akbar semacam itu hanya membuat berisik dan Allah pun jengah. Disangkanya Allah itu sangat suka dipuji-puji. Seakan rahmat-Nya baru turun kalau dipuji. Tak terlihat sebagaimana kebajikanlah yang menyebabkan turunnya berkah dan rahmat-Nya. Sorry, aku tak menggurui untuk membenci dzikiran. Tapi, aku suka mengajarkan kelogisan beribadah dan menjelaskan sifat Allah yang sebenarnya.

Pujilah Tuhan karena kau takjub akan rahmat karunia-Nya. Jangan mengecilkan eksistensi Tuhan karena Tuhan Maha Akbar. Mengeramatkan kuburan-kuburan itu adalah mengecilkan eksistensi Tuhan Yang Maha Akbar, begitupun kebiasaan dzikiran. Upacara-upacara dzikir akbar setara dijalankan dengan pengeramatan tokoh dan kuburan. Aku mengajarimu mana-mana yang perlu diluruskan. Bolehlah kau membayangkan bahwasanya Tuhan itu Maha Bijaksana dan Maha Melihat. Bijakkah Dia bila Dia sangat suka dipuji dan baru memberi rahmat-Nya kalau nama-Nya dipuji-puji dan diteriakkan beramai-ramai? Bertaubatlah, adakan taubatan nasuha nasional. Dengan cara itulah Tuhan niscaya iba dan terharu sehingga Dia menurunkan ampunan dan pertolongan-Nya. Tak beranjak turun pertolongan-Nya oleh puji-pujian. Penyesalanmu atas dosa-dosa yang berlimpah, itulah yang ditunggu-Nya.

Cobalah memikirkan semua itu dengan logis. Sekiranya, mana yang lebih disukai Tuhan, pertaubatan atau puji-pujian? Maha Suci Allah Yang Maha Terpuji. Dia Sempurna dalam Kemahaan-Nya. Jadi, tak mengena kebiasaan dzikiran akbar itu. Pertaubatanlah yang lebih mengena dikerjakan. Kukritisi acara dzikir akbar Ustadz Haryono yang dilimpahi jamaah. Masa’ ahli pengobatan alternatif yang konon dapat memindahkan penyakit dari orang ke kambing itu terpuji banget! Para kambing jadi korban. Bodohkah semua orang itu, mau saja percaya pada akal-akalan semacam itu? Coba aku mau lihat apakah bisulan itu bisa pindah ke kambing. Sok banget Ustadz Haryono itu mengaku bisa mindahin penyakit. Aku saja tidak bisa! Sebab, kemukjizatan kesembuhan terjadi sebagai rahmat atas buah pahala kebajikan. Sementara, penyakit itu terjadi sebagai sanksi atas perbuatan dosa. Bayangkan, kambing tidak salah apa-apa, tiba-tiba ketiban penyakit orang lain. Hitungan timbangan pahala dan dosa jadi kacau dong kalau begitu.

Aku jadi enggan menghitung-hitung pahala dan dosa kalau banyak orang mencurangi nasib sesama atau makhluk lain seperti itu. Bodo, aku juga enggan menjelas-jelaskan masalah mistik yang tak masuk akal seperti itu. Sudah jelas tak logis, masih saja mau dipercaya. Tapi, lihat saja jamaah Ustadz Haryono berlimpah. Acara-acara dzikir akbarnya selalu bergaung luas. Coba dia mau melibatkan diri menyelenggarakan taubat nasuha nasional, semoga perkaranya dengan kambing-kambing dan masyarakat diampuni Tuhan.

Dzikiran akbar yang suka diacarakan oleh Ustadz Haryono terlihat lebih pada promosi keselebritiannya. Gubernur Jawa Timur, Imam Oetomo, bahkan tampak hadir di acaranya. Para tokoh pun sepertinya mengaguminya.

Upacara keagamaan seringkali terlihat terlepas dari pokoknya. Keilahian seakan berubah menjadi keselebritian. Penyelenggaranya berupaya tampil menjadi selebriti. Ulama ingin menyerupai artis. Para artis yang hidup bebas, sesekali ingin menggaet simpati masyarakat dengan berjubah atau berkerudung, karena tampil sebagai presenter dalam acara keagamaan atau hari-hari keagamaan. Jubah atau kerudung mereka, itukah tanda kesalehannya? Nuansa keagamaan beranjak menjadi lain. Para artis mewawancarai ulama. Ulama suka berceramah ditemani artis. Kalau sedang bersama ulama, artis berkerudung seperti ustadzah, aktor berpakaian seperti orang alim. Di lain hari, tampil di acara gosip infotainment dan berpakaian terbuka auratnya. Ulama tersenyum menyertainya karena sudah kenal baik dengannya.

Naudzubillah min dzalik! Itu terlihat di pentas pemberian penghargaan untuk tayangan unggulan bulan Ramadhan. Ulama MUI tampil di atas pentas memberikan penghargaan seperti kaum perfilman dalam acara penghargaan Grammy Award atau Academy Award. Adapun itu sungguh pelik penilaianku. Gaya kaum selebriti Hollywood-kah yang sudah ditiru MUI? Kehebatan kaum MUI-kah ataukah para artis yang telah mempengaruhi para ulama? Simaklah Surat Shaad ayat 61:

Shaad ayat 61

Mereka berkata: “Ya Tuhan kami; barang siapa yang menjerumuskan kami ke dalam azab ini, maka tambahkanlah azab kepadanya dengan berlipat ganda di dalam neraka.”

Arti padanan:
Siapa-siapa yang menjerumuskan ke dalam azab, berarti merekalah yang dilipatgandakan hukumannya. Hentikanlah perilaku konyol semacam itu. Sungguh tak berguna mengadakan pentas pemberian penghargaan. Malaikat saja tak bisa melihat seberapa nilai kebaikan acara itu selain hanya berfoya-foya dan bergaya hidup yang cenderung untuk menyombongkan diri. Pandanglah keagamaan itu dalam sisi kesucian saja, karena itu adalah hakekat agama.

Penyematan penghargaan keagamaan untuk artis atau acara artis di kalangan ulama sama saja. Siapa yang mendahului, siapa yang mempopulerkan. Tapi, agama pun berkurang kesakralannya.

Kemegahan acara dzikir akbar berkembang seperti jamur di musim hujan. Hanya kebisingan mencari muka kepada-Nya yang terlihat oleh kami. Karena, kau hanya sibuk berdzikir tetapi tetap melakukan dosa. Sucikan diri, jangan melakukan dosa, ibadah yang benar, dan berdoalah dengan bahasa yang kau mengerti. Jangan biasakan berteriak-teriak di loudspeaker. Mengganggu lingkungan saja. Berendah hatilah bila kau bersembahyang. Cobalah hening bila menyembah Allah. Pergunakanlah bahasa Arab bila kau membaca ayat-ayat-Nya. Namun sambil kauhadirkan pemahamannya secara langsung. Bila tak kau sanggupkan hal itu, berdoalah kepada Allah secara langsung dengan bahasamu sendiri. Maka, tiada ikhtiar yang terbaik kecuali membacakan doa dalam bahasa yang dimengerti. Berbahasa sendiri tak mungkin terlepas maknanya dari apa-apa yang diinginkan. Dan Tuhan menjawab juga dalam bahasamu sendiri. Shalatlah dengan mempergunakan bahasa Arab yang lazim, tapi bila kamu ingin berikhtiar dialog yang mudah dengan-Nya, dapat kauterjemahkan ke dalam bahasamu sendiri. Terjemahkan ayat-ayat itu dengan benar, itu pun berlaku sebaik bahasa Arab.

Lebih baik mengaji terjemahan agar umat lebih mendalam menghayati isi Al Quran. Jangan dipaksakan menghafal bahasa Arabnya. Bukannya tak perlu, melainkan membaca terjemahan yang dimengerti adalah merupakan cara yang mudah memahami esensi isi Al Quran. Untuk apa dihafal kalau tak mengerti maknanya? Bahasa Arab jangan diberhalakan. Sandi-sandi terorisme pun berbahasa Arab juga. Jauhi keberimanan yang dangkal. Kajikan Al Quran dengan cara yang tepat. Hentikan kebisingan menghujat dan berkomentar salah sehingga membingungkan umat.

Akankah kau ingin menjadikan Majelis Ulama Indonesia terlihat buruk sekali? Inilah masanya kuterpurukkan kamu ke dalam permainanku. Kupertentangkan kamu dengan masalah-masalah keagamaan yang pelik dan kutunggu fatwa-fatwamu yang lain.

Sungguh, bila kamu semua tak mau bertaubat karena telah berfatwa buruk terhadap kami, tak kaujalani jalan yang baik, maka kau senantiasa terjerumus di jalan yang sesat, kau tak diindahkan Allah; bahkan, menjadilah bencana dan celaka apa-apa yang kaudoakan. Berbondong-bondong malaikat menutupi jalanmu. Itu sama saja dengan membiarkan kamu terjerumus melakukan kesalahan. Terlihat bodoh dan salah selalu. Aku sangat perkasa menempatkanmu dalam kesulitan dan kehinaan.

Sudahi fatwamu terhadap kami maupun terhadap Pesantren I’tikaf Ngaji Lelaku. Itu adalah dua tolok ukur kesesatanmu. Kalau kau menjadi buta karenanya, jangan sesalkan nasibmu, apalagi menyalahkan aku atau Allah yang mengazabmu.

Akulah Hakim Allah, yang bebas berperkara dengan para pendurhaka dan penganiaya Rasul Allah. Sungguh, bila aku sedang berperkara dengan MUI, tiada kesulitan yang paling rumit dan berat di dunia ini melainkan yang sedang berperkara denganku.

Akulah Jibril, yang tak terbatas kecerdasannya dan berkewenangan penuh sebagai utusan-Nya yang mengadili setiap dosa umat manusia di akhir zaman. Aku pun malaikat pencabut nyawa, yang bebas mengakhiri nyawa orang-orang yang tak patut hidup lebih lama lagi. Dan adalah penentang Rasul dan pembuat masalah yang rentan dijatuhi hukuman mati. Memang, ini adalah hari-hari penampian ruh. Orang-orang yang merepotkan niscaya lebih baik disingkirkan. Lebih baik dunia lengang tapi bersih. Tengok saja kematian-kematian yang terjadi begitu mudahnya. Aku pun pelaksana Penghakiman Tuhan terhadap segala dosa. Maka, jangan mengabaikan ancamanku ini.

Betapa MUI terdesak oleh peringatan-peringatan dan ancamanku. Walau Anda semua seakan mendiamkan teguran-teguranku itu semua, tak dapat kaubatalkan segala tuntutanku kepadamu melalui cara apa pun. Berilah bantuan kepada orang-orang miskin yang menderita, untuk mengupayakan pahala keringanan. Beriktikaflah selamanya atau tuntutlah aku ke pengadilan atau nyatakan kekuasaanmu atas diri kami. Berdoalah sebanyak-banyaknya, tapi aku berkata,”Butalah kamu karena kesesatanmu membuat dua fatwa yang fatal menghakimi kebenaran.”

Sekarang langka fatwa-fatwamu yang akan dibenarkan. Tertulis fatwa-fatwamu yang dipergunjingkan. Kala masyarakat bermakmum kepadamu dan bertaat pada fatwa-fatwamu, kami akan tampil memberdayakan keampuhan ayat-ayat suci Al Quran untuk membatalkan fatwa-fatwamu yang salah. Sungguh Maha Suci Allah yang memerangkapmu, menjadikan fatwa-fatwamu sesat. Berfatwalah, niscaya selalu sesat! Karena kami mempermainkanmu. Niscaya, inilah hari yang dimaksudkan dalam Surat Huud ayat 105:

Huud ayat 105

“Pada hari yang akan datang itu, tidak ada seorang pun yang berbicara melainkan dengan izin-Nya, maka di antara mereka ada yang celaka dan yang bahagia”.

Tiadalah MUI sengaja berfatwa salah tanpa seizin-Nya sebagaimana tiadalah Ustadz Muhammad Yusman Roy dan jamaahnya bertindak salah karena menerjemahkan ayat-ayat dalam shalatnya. Sungguh, kaum MUI sesat fatwanya dan menjadilah dia golongan orang-orang yang celaka. Dan benarlah Muhammad Yusman Roy dan jamaahnya karena Allah membelanya. Maka, niscaya tiadalah dia celaka melainkan jadilah mereka golongan orang-orang yang dibahagiakan dalam imannya.


<< Prev - Next >>




Galeri Foto

Galeri Foto Eden
Menu Utama
Home
Rahasia
Wahyu Tuhan
Fatwa Malaikat Jibril
Lembaran Eden
Gizi untuk Jiwa
Galeri Foto
Kidung Eden
Profil
Search
Site Map
Wahyu Terbaru

* Merebaknya Penyakit
* Gempa & Tsunami
* Penghapusan Agama
* Bencana Tak Tertahan
* Penetapan Raja dan Ratu di Eden
* Pertaubatan Lilis dan Tris
* Teguran atas Kebengisan dan Kekejaman Umat
* Ampunan kepada Lilik
* Mukjizat Cinta
* Derita Yanthi dan Kanker Payudaranya
* Surga Penuh Rahmat
* Jawaban Tuhan atas Sumpah Kaum Eden
* Pelepasan Syariat Agama
* Ancaman Bencana Tsunami
* Peringatan Tuhan untuk Bangsa Indonesia
* Wahyu Peresmian Kerajaan Tuhan
* Aura Kesucian dan Kebenaran
* Teguran Tuhan kepada Aar
* Bangsa Penentang Rasul Tuhan
* Perintah Tuhan kepada Dunuk
* Juru Selamat kaum Buddha

Syndicate
RSS 0.91
RSS 1.0
RSS 2.0
ATOM 0.3
OPML
© 2006 LiaEden.Info - Official Site of Archangel Gabriel

Senin, 19 Oktober 2009

Gejolak Psikososial Mereaksi Paradoks Keimanan, Analisis Kasus Yusman Roy

Oleh : M. Mahpur *

Ustadz Mohammad Yusman Roy (Gus Roy), seorang pengasuh pondok I’tikaf Jamaah Ngaji Lelaku di Lawang Jawa Timur, April-Mei 2005 sempat membuat geger kaum muslimin. Dia berijtihad dengan membolehkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua dalam shalat. Peristiwa ini tidak hanya membuat kalangan umat Islam gundah, namun kasusnya telah sampai ke kepolisian karena dianggap pendapatnya sebagai buah dari penistaan terhadap agama tertentu (Islam).

Sebuah feomena keberagamaan yang ditanggapi secara destruktif, tidak lagi menghargai dialog santun dan ramah-tamah sehingga keberagamaan semacam itu dianggap sebagai perilaku sesat yang menisbatkan kepada bentuk-bentuk kekafiran atau kemurtadan. Sementara kalau dikaji secara lebih mendalam Gus Roy merupakan fenomena yang menggambarkan sebuah pergeseran spiritualitas dalam menangkap dinamika ketuhanan dan usaha bagaimana seseorang memilih jalan berdialog dengan tuhan agar secara mudah dipahami dan dimengerti, up date. Bagaimana peristiwa ini bisa dikaji secara psikologis untuk menangkap dinamika batin manusia dalam mencari pencerahan spiritualitasnya sembari mendialogkan peristiwa itu secara lebih terbuka, dialektis dan komunikatif. Dalam konteks dialog batin, tulisan ini ingin mengulas dengan duduk persoalan tanpa memandang itu sebagai kesesatan.

Mari mencoba mengingat kembali status inkuisisi Syeikh Siti Jenar yang akhirnya dihukum mati karena ajarannya telah melawan arus-utama agama resmi. Namun, dari sebuah uraian sejarah dinyatakan bahwa kesalahan Syeikh Siti Jenar bukan semata ajaran manunggaling kawulo gusti yang sebenarnya oleh walisongo tidak merupakan hal tabu dalam dunia sufisme, melainkan inkuisisi kematian Jenar sebagian dilandasi oleh nilai kebencian karena ada motivasi politik di mana Jenar tidak lain adalah penganut Syi’ah dan perselingkuhan politik dengan kerajaan Pajanglah yang juga menghidupi aliran Syi’ah menyeret Jenar diadili dengan menggunakan hukum syari’at yang implisit itu didukung oleh basis kekuatan kerajaan Demak yang menganggap Pajang sebagai ancaman (Muljana, 2005).

Di sini dapat diambil kesimpulan bagaimana perselingkuhan syari’at dan kekuasaan tidak menerima spiritualitas Jenar yang itu absah dari aspek tasawufnya tetapi dianggap mengganggu stabilitas otoritas kuasa sehingga hukum syari’at akan didahulukan seiring kesejajarannya dengan kepentingan kekuasaan ketimbang pemahaman atas status spiritualitas seseorang.

Selalu ada konflik ketika spiritualitas dihadapkan dengan agama resmi dan kekuasaan (kepentingan politik) yang ikut terlibat dalam menentukan arusutama (mainstream) spiritualitas orang-orang beriman menambah deret panjang dinamika keberagamaan. Napak tilas sejarah orde baru juga menjadi catatan sejarah di mana spiritualitas agama begitu dikendalikan oleh kekuasaan politik sehingga beberapa kasus aliran kebatinan, yang dianggap sebagai kelompok yang dicurigai akan berbuntut terbentuknya agama baru, telah dimasukkan sebagai daftar aliran kelompok subversif.
Padahal dari pengalaman penulis bergaul dengan beberapa penganut kebatinan, perkumpulan kebatinan tidak lain hanyalah sebuah komunitas yang hendak mempertajam spiritualitas batin menuju tuhan dan jauh dari keinginan membuat agama baru. Ada semacam nilai psikologi yang tidak dipahami oleh kekuasaan dan nilai syar’inya dalam membaca setiap praktik keagamaan.

Menurut perspektif psikologi transpersonal, wilayah spiritualitas dan keagamaan didalam psikologi memiliki ranah psikis yang berbeda sehingga keduanya harus dipahami dalam konteksnya masing-masing. Persoalan fenomena psiko-spiritual adalah nilai jiwa yang terangkum dalam berbagai kasus langsung berkaitan dengan eksistensi kepercayaan yaitu perasaan dan cara kehadiran tuhan dalam diri manusia, ekstase, hakikat kematian, kebermaknaan yang semua itu menembus batas-batas formalitas di gereja, masjid atau syari’at resmi yang berupaya menuju tuhan secara langsung. Realitas ini harus dipahami dalam konteks kedalaman dunia batin seseorang.

Persoalan psiko-religius
Dalam setiap momen keberagamaan, seseorang dihadapkan pada berbagai peristiwa psikologis yang berubah secara gradual, bertahap, dan bersifat evolutif, namun juga ada realitas yang muncul sebagai gejala perubahan psikologis yang tiba-tiba dan memuat sejumlah peristwa radikal, obsesif atau menurut persepsi umum dianggap tidak normal.

Menurut William James dalam sebuah buku monumentalnya menjelaskan fenomena tersebut ke dalam peristiwa terjadinya konversi agama. Secara eksplisit konversi agama dapat dikatakan sebagai perubahan spiritual karena adanya perubahan ide, seperti episode pencerahan emosional secara tiba-tiba (sudden convertion), terjadi secara mendalam atau permukaan, atau terjadi secara perlahan-lahan (gradual convertion) (James, The Varieties of Religious Experience : A Study of Human Nature, 1958). Berdasarkan ide James, konversi agama memiliki dua kemungkinan yaitu perubahan sikap beragama menjadi lebih radikal dalam arti abnormal, tidak seimbang, kurang produktif, normatif, doktriner. Kemungkinan kedua menjadikan sikap beragama seseorang lebih terbuka, rasional, inklusif, esoterik. Oleh karena itu ada dua kemungkinan konversi, yakni sifatnya destruktif seperti kasus bunuh diri beberapa penganut aliran tertentu di Jepang dan bersifat ramah seperti persoalan spiritualitas shalat Gus Roy.

Kasus seperti Gus Roy seharusnya dilihat dari unsur psikologis yang mengikuti perubahan praktik keagamaan dan femonema spiritualitas yang bergerak inheren dalam pribadi manusia sebagai pengalaman konversi yang nyata. Fenomena spiritualitas Gus Roy, jika dibaca dalam konteks definitif agama James merupakan realitas agama personal, yakni agama sebagai sebentuk “perasaan, tindakan, dan pengalaman manusia secara individual dalam keheningan mereka, sejauh mereka memahami diri mereka berada dalam hubungan dengan apa pun yang mereka pandang sebagai yang Ilahi”.

Menilik kinerja psikologis dalam melihat fenomena agama, maka akan lebih arif ketika itu dilihat dalam ranah trans-personal dimana agama selalu melibatkan dinamika psikis manusia menyangkut cara bagaimana seseorang memaknai peristiwa ketuhanannya agar bisa menghindari kehampaan rutinitas ritual dari setiap pengamalan agama. Oleh karena itu fenomena shalat jika ia dihidupi oleh spiritualitas pengamalnya, maka pemaknaannya pun selalu mengalami pergeseran dan keragaman peristiwa. Yang terpenting bukan menghukum setiap peristiwa batin (spiritualitas) dengan pasal 156 KUHP tentang penistaan terhadap ajaran agama dan fatwa MUI tanpa mengenal lebih mendalam situasi batin seseorang, namun bagaimana spiritualitas sebagai pengalaman esoterik dihidupi oleh dialektika batin yang saling mencerahkan, mengenali terlebih dahulu proses metamorfosis batin pengalaman keagamaan seseorang atau komunitasnya bukan menyalahkan.

Gus Roy pernah dihukum 3 tahun penjara atas pendapatnya tentang shalat dwibahasa oleh Pengadilan Negeri Kabupaten Malang. Hukum ini telah menyisakan sebuah pertanyaan bagaimana spiritualitas bisa dihadang dengan perangkat hukum tanpa memberi ruang batin lahirnya inter-rasionalitas dan berbagai perjumpaan batin yang saling berdialog. Ini telah memisahkan suasana batin keagamaan dengan bahasa hukum. Bahasa hukum adalah bahasa kuasa yang mengambil konteks relasi atas dasar formalitas tekstual yang bertentangan dengan sifat bahasa spiritualitas yang subtil, sulit terjangkau dan harus diselami berdasarkan sense, feeling, dan makna dari masing-masing orang. Pengingkaran lain juga lahir dari Majelis Fatwa MUI yang fatwanya tidak didasari oleh kekuatan pengetahuan psikologis Yusman Roy, dan bahkan Fatwa itu lahir tanpa dasar pengetahuan langsung berdialog dengannya. Ada kesan batas pengetahuan spiritualitas yang tidak berusaha dibongkar untuk mendiskusikan persoalan shalat dwibahasa.

Dialektika rasa tentu berbeda dengan dialektika bahasa hukum. Pergeseran ranah inilah sebenarnya telah mengingkari persoalan pokok problem spiritualitas. Oleh karena itu, secara psikologis, kasus sejenis Yusman Roy harus dikembalikan kepada ranah psiko-spiritual atau religius dan bukan pada proses hukum. Artinya, bahwa proses hukum hanya menjadi sarana penekan kebebasan spiritual dan tidak menjawab konsep dasar spiritualitas shalat sekaligus justru mempersempit cakupan agama itu sendiri menjadi sebuah dialog yang tidak ramah.
Mengacu pada tulisan David Lucoff (1998) di Journal of Humanistic Psychology, 38 (2), yang membandingkan antara dua persoalan psychoreligious problem dan psychospiritual problem, dengan mengkorversikan ke dalam diagnosis DSM-IV sebagai bagian dari persoalan yang bukan termasuk ke dalam atribusi gangguan mental. Di situ dijelaskan bahwa persoalan psikoreligius menyangkut sebuah pengalaman seseorang karena menemukan persoalan yang berkaitan dengan dan melibatkan kepercayaan, praktik yang terorganisir dalam insitusi agama seperti kehilangan atau mempertanyakan keteguhan keimanan, perpindahan keanggotan denominasi, konversi ke sebuah keyakinan baru, atau intensifikasi mengenai kesetiaan terhadap praktik agama dan ortodoksi. Di sini Yusman Roy telah mengalami pergeseran (konversi) dari aspek institusi sholatnya dengan mengkonversi bahasa arab dengan bahasa Indonesia (lokal). Perubahan ini jelas berimplikasi terhadap berubahnya konstruksi institusi agama (sholat). Persoalan ini juga tidak bisa diselesaikan dalam konteks bahasa itu sendiri sebelum kemudian dianalisis berdasarkan fakta-fakta psikologi sebagai cara bantuk mendiagnosis persoalan pokok dari nilai transenden sholat itu. Ini kemudian akan dijembatani dalam upayan mendiagnosis problem spiritualnya.
Persoalan psikospiritual dijelaskan menyangkut persoalan pengalaman seseorang menemukan pernik masalah atau tekanan yang melibatkan situasi kekuatan transenden. Persoalan ini tidak terkait dengan adanya indikasi kesetiaan keyakinan dan praktik peribadatan yang terorganisir. Pengalaman ini semisal dalam bentuk pengalaman menjelang kematian (Near-Death-Experience) dan pengalaman mistik (mystical experience). Pengalaman mistik yang dimaksud adalah rangkaian kesementaraan yang ditandai oleh pengalaman menyatunya perasaan, harmoni ilahiah dan semua ada dalam keadaannya, seperti ephoria, menembus batas, hilangnya fungsi-fungsi ego, pergeseran persepsi ruang dan waktu, dan perasaan yang bebas dari situasi terkontrol. Dengan demikian persoalan Yusman Roy menyangkut dua persoalan itu, yakni problem psiko-religius dan spiritual.
Pada aspek psiko-religius, bahasa shalat adalah fakta dogmatik yang membuka adanya kemungkinan diferensiasi budaya dan logat bahasa. Perbedaan segi bahasa terletak pada nilai bahasa pengungkapan terhadap makna batin. Artinya, bisakah batin itu diwakili oleh sebentuk bahasa pengungkapan, ekspresionis, atau gerak tubuh dengan komprehensif. Sementara relatifitas bahasa dan gramatikalnya yang disusun terstruktur rapi telah membatasi keluasan makna dan perasaan si pengungkap. Di sinilah bahasa hanya sebagai alat bantu kepuasan batin yang ditransformasikan antara dua sisi kognitif dan afektif. Sementara tantangan spiritualitas adalah gugus fenomenologis yang ditangkap dari perasaan tindakan bersholat dengan segala perangkat yang mengiringinya. Sedangkan dari aspek tinjauan psikospiritual problem terjadi transformasi kesadaran dalam menjawab kebutuhan sholat yang akan memengaruhi keputusannya dalam menggunakan bahasa kedua dalam shalat.
Spiritualitas bertarung melawan “politik” kesesatan
Kemapanan sebuah otoritas agama yang terus menerus secara psikologis akan membawa implikasi terhadap munculnya pola-pola resistensi sebagai bias dari kejenuhan psikis penganutnya yang selalu menjadi bagian penting peristiwa keagamaan karena kemapanan agama tidak lagi membawa implikasi kepuasan batin penganut sehingga dari setiap sejarah spiritualitas kasus penyimpangan praktik keagamaan akan selalu ada. Disinilah sebenarnya spiritualitas agama harus hadir dalam kerangka dialog batin sehingga ajaran agama tidak sebatas ketaatan ritual yang menjadi rutinitas yang mengeringkan pemaknaan agama.
Ada ketakhadiran spiritualitas dalam beragama dan agama tidak lagi hadir dengan keramahan, akan tetapi selalu dilekati bayang-bayang kekerasan, pedang, fatwa otoritatif, dan pasal-pasal KUHP ketika ada sebagian orang hendak mendialogkan situasi batinnya. Nampaknya ada gerakan reaktif dalam menghadapi gelombang spiritualitas keagamaan yang mulai mengancam pengamalan-pengamalan agama resmi.
Jika agama-agama menanggapi reaktif dan defensif pengalaman keberagamaan justru akan jatuh pada kondisi stagnasi dalam meraih derajat kesepahaman spiritualitas atau bisa disebut agama telah jatuh pada kefakuman pemaknaan spiritual, yang oleh psikiater Victor E. Frankl sebagai gejala munculnya noogenic neurosis (kehampaan spiritual). Spiritualitas agama tidak lagi hadir dalam nalar perjumpaan yang saling mengisi pengayaan batin seseorang menuju hidup bermakna akan tetapi dibayangi oleh “politik kesesatan” dan dianggap sebagai tindakan subversif yang hadir kemudian tatkala seseorang hendak melakukan transformasi batinnya, dan dengan begitu apakah dialektika spiritual tidak lagi memiliki ruang bebas dalam mengekspresikan pengalaman beragama seseorang?
Menurut Ebrahim Mossa (2004: 39) yang merujuk pendapat Sachedina bahwa munculnya pengadilan pengafiran atau pemurtadan terhadap kelompok atau individu yang menyimpang dari ajaran resmi agama dalam sejarah keislaman lebih bernuansa politik dari sekedar persoalan agama. Dalam sistem kerajaan yang mendominasi sejarah Islam, hukuman bagi orang kafir atau murtad menjadi sesuatu yang wajib karena lebih mempertimbangkan praktik politik bahwa persoalan yang mengancam agama dengan demikian juga akan mengancam otoritas negara. Hal ini dianggap melebihkan hukuman kafir atau sifat-sifat pandangan yang dianggap menyesatkan menjadi persoalan subversif untuk tujuan mengukuhkan hegemoni negara.
Pada dasarnya al-Quran memberikan peluang kebebasan dalam beragama namun karena keadaan yang belum stabil dan realitas politik pada masa awal-awal perkembangan Islam akhirnya menuntut batasan terhadap pemahaman kata kebebasan itu. Ketika kemudian negara menjadi pelindung agama Islam maka konsekuensinya apa yang dianggap sebagai ancaman negara dengan demikian dianggap juga sebagai ancaman terhadap agama. Sachedina menjelaskan bahwa “secara teori dan praktik tekanan ajaran al-Qur’an terhadap kebebasan beragama kehilangan landasannya dan agama Islam bertahan melawan tekanan dan serangan dari luar. Pertahanan dengan menggunakan kekuasaan secara bertahap memberi jalan untuk munculnya hukum dan kebijakan politik yang agresif”.
Dus, spiritualitas akan menjadi persoalan yang tumpang tindih dengan otoritas politik dan sejumlah asumsi yang mendasari mekanisme pertahanan diri dari kekuasaan yang menopang berjalannya proses hegemonik dan akhirnya fatwa kesesatan selalu berpihak pada realitas politik perlindungan diri dari ancaman-ancaman yang merongrong status quo dari hal-hal yang tidak menguntungkan secara politik.

Keimanan Tidak Sekedar Menghardik
Agama sebagai fenomena psiko-sosial yang terbingkai dalam ruang dan waktu mengalami perkembangan berdasarkan hukum pergeseran peradaban yang melekat dalam beragam dinamika (gejala) psikologis, antropologis dan sosiologis. Ketiga horison ini akan mendorong munculnya ragam perilaku beragama sebagai cerminan dari kondisi individualitas, budaya, dan kelompok massa, sehingga agama menjadi konteks dunia kemanusiaan dan bukan dunia Tuhan. Suatu pendekatan yang memandang agama dari spektrum gerak dan langkah keberadaan manusia (human being). Apapun yang disebut agama adalah lokalitas kemanusiaan.

Duduk perkara ini akan digunakan untuk menanyakan hubungan agama dengan manusia, dan bukan hubungan agama dengan Tuhan. Yang terakhir ini menurut penulis sudah selesai, bahwa ketika Tuhan telah mewahyukan suatu kabar gembira, selanjutnya urusan manusia untuk mengeksplorasi pesan ilahi itu dan tuhan telah membebaskan manusia dari pilihan percaya dan tidak percaya. Semua diserahkan pada keputusan manusia.
Perkembangan teologi yang memunculkan semangat pengkafiran, pemurtadan sekaligus intimidasi ketidaksepahaman terhadap sebuah pendapat dan akhirnya harus berbuntut penyerbuan terhadap komunitas agama tertentu atau memunculkan sejumlah fatwa sepihak tanpa memberikan dialog dan artikulasi keimanan seperti demikian sebenarnya merupakan salah satu fenomena historis yang bermuara pada corak kepribadian massa, struktur sosial-politik yang menjadi seting penafsiran sebuah pesan tuhan dan budaya lokal yang melahirkan tradisi berpikir tertentu dalam memahami, menerima, dan menerapkan ajaran agama.

Deus dixit, begitulah Sabda Tuhan, yang menurut kata Peter L. Berger (1992) dalam buku yang berjudul, “Kabar Angin dari Langit”, adalah suatu penemuan bagaimana pertentangan teologi antara Neo-ortodoks (Kristen) dengan paham liberalisme (Protestan) sekitar awal abad 19 yang secara antropologis menjadi pemicu persengketaan di dalam menjelaskan hubungan antara manusia dengan tuhannya.
Titik pijak pengertian yang berbeda dalam memahami lahirnya antropologi teologis yang mana penganut liberalis lebih menekankan adanya berbagai jalan menuju Allah sebagaimana aliran eksistensialisme yang menorehkan eksistensi manusia untuk bebas menentukan pilihan. Artinya agama dipahami mulai dari bagaimana manusia itu mencari jalan menuju Allah dan mengabaikan hubungan monologis Tuhan-manusia. Kalangan Neo-ortodoks, seperti penjelasan Berger, sangat anti terhadap pendekatan demikian, bahwa “tidak ada pendekatan apapun dari manusia kepada Allah. Yang ada hanyalah dari Allah kepada manusia dengan jalan pewahyuan ilahi yang secara keseluruhan merupakan aktivitas Allah. Jadi tidak berakar sama sekali pada kodrat dan kondisi manusia” (hlm. 63).

Dari kalangan Neo-ortodoks ini maka Deus dixit kerap digunakan sebagai nalar pembelaan mereka terhadap kaum liberalis sebagai jalan penolakan terhadap segala unsur yang membebaskan manusia dari kisah-kisah teks kepatuhan manusia terhadap tuhannya. Bahkan struktur pemikiran itu menjadi logika munculnya pengadilan bagi kaum liberalis yang dianggap menghina, atau menyelewengkan agama murni.

Kasus ini sangat banyak muncul di Indonesia, terutama ketika persengketaan kaum fundamentalis dengan golongan yang menamakan liberalis menuai konflik. Bagi kaum fundamentalis, keberagamaan yang murni adalah mewarisi cara “beragama nabi” dengan menerapkan apa yang tertera dalam Al Qur’an dan Hadits. Walaupun substansi pendapat ini “benar” dari segi maknanya, namun praktek-praktek keberagamaan kaum fundamentalis menciptakan kontroversi-sadisme atas pemikiran teologis yang mereka kembangkan dan bahkan pemikiran itu menjadi fundasi praktek keberagamaan mereka.
Sadisme merupakan manifestasi perilaku manusia yang dimotivasi oleh persepsi yang dibangun dari ketidaberesan situasi psikologis seseorang. Ketika teologi bersanding dengan perilaku sadisme maka keberagamaan semacam ini akan melahirkan baik pemikiran atau tindakan agresif, entah dalam bentuk mencemooh, memaki, dan menyerang karena alasan ketidaksepahaman terhadap apa yang diyakininya. Teologi sadisme oleh karenanya disebabkan karena atribusi agama hanya dijadikan komoditas personal terhadap pilihan kebutuhan individu, kelompok atau ideologi.

Di dalam sejarah teologi Islam, “teologi sadisme”, seperti pengkafiran, pemurtadan, bahkan eksekusi mati terhadap seseorang karena perbedaan keyakinan, telah menyebabkan warisan pemikiran teologi Islam mandek hanya pada perbatasan-perbatasan Islam, kafir, murtad yang sifatnya formal dan simbolis.
Sementara harus disadari bahwa teologi merupakan interpretasi dan persepsi manusia tentang tuhan sehingga manifestasi dari hasil interpretasi dan persepsi mustahil menjadi sesuatu yang mesti benar. Oleh karenanya teologi itu sebenarnya merupakan wilayah imajiner yang dikembangkan menjadi beragam gambaran pandangan atau pendapat atas apa yang telah berhasil dipikirkan manusia dalam menangkap ide (pesan) Tuhan. Dalam arti kata, kebenaran yang muncul tidak bisa dilepaskan dari struktur kognisi seseorang didalam mempersepsikan siapa tuhan sampai batas akhir membentuk sebuah keyakinan seseorang yang diimplementasikan dalam berbagai interpretasi atau pendapat sehingga ia bisa patuh atau tunduk, yang biasa disebut seseorang menjadi telah beriman. Oleh karena itu kebenaran teologi bersifat parsial, yakni kebenaran keimanan yang ada di dalam pikiran manusia yang mereduksi bagian-bagian kebenaran Tuhan yang bersifat absolut.

Jika ini disadari oleh kelompok-kelompok agama, maka persoalan teologi dan berbagai pendapat atau interpretasi terhadap wahyu tuhan adalah persoalan bagaimana manusia mempersepsikan dunia tuhan, wahyu atau ajaran agama. Sedangkan bagaimana kaum agama berteologi itu tergantung pada kebutuhan (needs) yang sifatnya personal atau sosial, dan bukan merupakan kebutuhan tuhan. Sama halnya Tuhan menurunkan wahyu, ia hanya untuk kepentingan kehidupan manusia dalam rangka memberi petunjuk bagaimana mengatur dunia menjadi lebih baik bukan untuk kepentingan Tuhan.

Oleh karena itu apa yang diwahyukan Tuhan menjadi urusan manusia untuk diejawantahkan dalam bingkai kemanusiaan. Jika kesadaran pewahyuan semacam ini menjadi arus utama pemikiran keagamaan, niscaya pola logika yang mengatakan “deus dixit” bisa dihindari dari berbagai perangai yang menutup logika debat menjadi semata-mata mewujudkan pembelaan “begitulah sabda tuhan” tanpa disertai unsur bahwa pluralitas pemahaman kita terhadap wahyu tuhan diperlukan karena suatu pemikiran membutuhkan ruang terbuka agar bagaimana isi pesan tuhan itu bisa mendinamisasi kehidupan manusia dan bukan meniscayakan pengingkaran pada inklusifitas dialektis atas cara kita beragama. Dan karena inilah kemudian sikap beragama begitu sadis dan destruktif yang membawa pada perilaku agresif dalam menyampaikan pesan tuhan dan dipenuhi oleh situasi truth claim.

Sebagai agama kemanusiaan (rahmatan li al alamien) selayaknya keberagamaan saat ini didukung oleh sistem komunikasi yang demokratis karena menghadapai sejumlah dinamika kemanusiaan yang nota-nebe memiliki hukum pluralitas seperti ditegaskan oleh Edmund Aren, no liberation without communication, but also no communication without liberation (Bastone & Mendieta, 1997:21), bahwa kemerdekaan harus didukung oleh komunikasi, begitu sebaliknya tanpa komunikasi maka kemerdekaan menjadi suatu ironi. Begitulah kiranya apa yang hendak dibangun atas cara kita beragama. Itu artinya, realitas kemanusiaan yang cukup beragam membutuhkan cara berfikir rasional yang dialektis dan bebas sembari mencari sebuah konfigurasi bersama tentang cara menghadapi berbagai kemelut dari sekian persoalan hidup yang dihadapi manusia, yang tentu bertujuan menggalang transformasi kehidupan lebih berkualitas.

Allah berfirman, “dan Dia tidak sekali-kali menjadikan untuk kaum dalam agama suatu kesempitan” (QS 22;78), dan patut kita renungi bahwa jika Allah saja telah membuka pintu rahmat selebar-lebarnya, mengapa kita malah menutup pintu rahmatnya. Inti dari sebuah dinamika spiritual sebaiknya tidak dilihat dari status ancaman pilihan dari ungkapan ketuhanan seseorang yang menjelma dalam berbagai praktik yang berbeda dari azas kepantasan (mainstream) agama itu dan selalu dihadapkan oleh politik kesesatan yang datang karena ketidaksepahaman spiritualitas, melainkan spiritualitas itu mulailah diberi ruang dialektis untuk mencari sebuah pengayaan batin yang lebih luas dalam beragama sehingga pengalaman ketuhanan disadari dalam seluruh kerangka esoteris yang saling melengkapi terhadap berbagai pengalaman yang berbeda tanpa menciptakan sebuah nilai-nilai anarkhis dalam beragama.
Keyakinan adalah fakta berbeda karena daya tangkap transendensi yang juga majemuk. Tuhan adalah satu, namun realitas psikologis telah memberi sebentuk kreatifitas spiritual yang membuka tumbuhnya wawasan kognitif yang bergeser dalam beragam kesadaran dan kebutuhan.

*) Penulis Adalah Pengurus Lakpesdam NU Kota Malang

Suara Lirih Melawan Arabisme

Suara lirih dari seorang anak bangsa yang menjunjung tinggi bahasanya.

Bangsa indonesia berbahasa satu, bahasa indonesia............................... Dari perspektif tersebut, saya memaknai apa yang dilakukan Yusman Roy di Malang merupakan “suara lirih” untuk melawan hegemoni Arabisme. Memang Yusman Roy kalah berargumentasi, bahkan dipenjara, tapi semangatnya untuk menegaskan identitas keindonesiaan ditengah kuatnya Arabisme patut dihargai.***

*Penulis adalah Peneliti Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ; Associate The Wahid Institute, Jakarta.

Minggu, 18 Oktober 2009

Penolakan terhadap Kriminalisasi Keyakinan

Para ulama dan tokoh-tokoh agama seharusnya bisa memberi contoh yang baik (uswah hasanah) dalam menghadapi perbedaan pendapat. Klaim sesat menyesatkan hanya akan menunjukkan kekerdilan jiwa dan kesempitan akal budi. Oleh karena itu, tokoh-tokoh agama tidak semestinya mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tidak simpatik dan arogan, apalagi kepada orang (kelompok) yang hendak menghayati agamanya secara baik.

KASUS shalat dengan dua bahasa (Arab dan Indonesia) yang dilakukan komunitas “Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku” di Malang Jawa Timur pimpinan Muhammad Yusman Roy, telah mengarah pada praktik persekusi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok agama yang tidak setuju dengan hal tersebut. “Pemegang” otoritas keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukan saja telah mengeluarkan “fatwa” yang menganggap sesat atas Yusman Roy dan pengikutnya, tapi juga telah menuduh mereka telah melakukan penodaan agama. MUI dan lembaga-lembaga yang mengklaim sebagai pemegang otoritas keagamaan terus-menerus memosisikan diri sebagai satu-satunya penafsir tunggal agama.

Lebih daripada itu, tata cara shalat a la Yusman Roy ini dipandang sebagai tindakan kriminal, sehingga pihak kepolisian segera memposisikan Yusman Roy sebagai tersangka. Kita sedang menyaksikan betapa negara telah ditarik terlalu jauh untuk mengeksekusi praktik keagamaan seseorang. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan karena akan membawa dampak kurang baik atas kehidupan beragama di Indonesia. Kalau Roy Yusman dianggap sebagai orang yang “tidak tahu” tentang Islam, seharusnya para ulama mengedepankan cara-cara yang baik, bi al-hikmah wa al-mau’idhat al-hasanah, untuk menyampaikan kebenaran, bukan dengan melakukan persekusi, “fatwa sesat” apalagi diseret ke pengadilan dengan tuduhan penodaan agama. Apalagi Roy Yusman mempunyai “niat yang baik,” yaitu bagaimana agar orang yang shalat memahami apa yang dibacanya.

Jika dilihat lebih jauh, kasus ini sesungguhnya hanya merupakan perbedaan fiqhiyah biasa, dan salah satu ciri dari fikih itu sendiri adalah perbedaan pendapat. Shalat dengan dua bahasa bukanlah sesuatu yang sepenuhnya baru dalam diskursus fikih. Jauh sebelumnya, Imam Abu Hanifah (w. 150 H) sudah mempermasalahkan mengenai kemungkinan mengganti shalat dengan bahasa selain Arab. Dan harap dimaklumi bahwa dalam kasus perbedaan fikih, tidak ada seseorang atau lembaga keagamaan manapun yang memiliki otoritas mutlak untuk menjatuhkan vonis kepada fikih orang lain sebagai sesat, apalagi dianggap sebagai tindak kriminal. Apabila ada pihak yang mengklaim pendapat agama tertentu sebagai paling benar, pada hakikatnya mereka telah merampas hak prerogatif Allah.

Dengan memperhatikan hal tersebut kami menyerukan kepada semua pihak hal-hal sebagai berikut:

1. Agar umat Islam tetap menjaga ukhuwah Islamiyah dan tidak melakukan hal-hal yang anarkhis hanya karena perbedaan pandangan keagamaan. Perbedaan demikian harus dilihat sebagai kekayaan daripada sebagai ancaman.

2. Para ulama dan tokoh-tokoh agama seharusnya bisa memberi contoh yang baik (uswah hasanah) dalam menghadapi perbedaan pendapat. Klaim sesat menyesatkan hanya akan menunjukkan kekerdilan jiwa dan kesempitan akal budi. Oleh karena itu, tokoh-tokoh agama tidak semestinya mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tidak simpatik dan arogan, apalagi kepada orang (kelompok) yang hendak menghayati agamanya secara baik.

3. Umat Islam harus memahami bahwa apa yang dilakukan oleh Yusman Roy dengan shalat dua bahasa bukanlah prinsip atau pokok agama (ushul al-din), melainkan dahan atau tehnik agama (furu’ al-din).

4. Kepada pihak kepolisian agar tidak terjebak dengan tuduhan penodaan atas agama, karena apa yang terjadi pada Yusman Roy adalah khilafiyah fiqhiyah yang tidak ada kaitan dengan penodaan atas agama. Tata cara shalat a la Yusman Roy bukanlah tindakan kriminal yang membuat pelakukanya harus diadili dan dipenjara.

5. Kepada institusi negara agar tidak melakukan intervensi terhadap praktik-praktik keagamaan umat. Persoalan ritual dan keyakinan umat adalah wilayah pribadi yang tidak bisa diinfiltrasi oleh institusi negara. Negara adalah zona netral yang tidak selayaknya memasuki wilayah paling privat yang menjadi wewenang masing-masing individu.

Demikian pernyataan sikap ini kami serukan kepada semua pihak.

Yang Membuat Pernyataan

Nama-nama lembaga:

1. The Wahid Institute
2. Jaringan Islam Liberal
3. P3M
4. JIMM
5. Majalah Syir’ah
6. Lakpesdam NU
7. Desantara
8. Masyarakat Dialog Natar Agama (MADIA)
9. Gerakan Nasional Anti Diskriminasi (GANDI)
10. RAHIMA
11. Fahmina Institute
12. ICRP
13. ICIP
14. PPSDM UIN Jakarta
15. Maarif Institute
16. IPNU
17. IPPNU
18. GP ANSOR
19. PP Aisyiah
20. PP Nasyiatul Aisyiah
21. Pemuda Muhammadiyah
22. KMNU
23. Ahimsa

15/05/2005