Rabu, 21 Oktober 2009

Mensyukuri Anugerah Keragaman dengan Merayakannya Posted on 09. Mar, 2008 by

Oleh L. Riansyah

UBLIK-JB-I-Maret-2008. Roibin M. HI menyatakan bahwa akar kasus penyesatan yag selama ini terjadi adalah karena praktik keberagamaan kita yang mementingkan aspek formalitas. Agama menurut Dosen UIN Malang ini adalah sebuah relasi antara manusia dan tuhan. Melalui ritual, dialog antara sang hamba dengan sang pencipta bisa terjadi kapanpun dan di manapun. Tentunya ritual keagamaan menjadi wilayah privacy yang tidak penting orang lain tahu. Maka, ekspresi dan artikulasi terhadap keyakinan tidak seharusnya dipamerkan ke orang lain. Ritual keagamaan ketika diekspose secara berlebihan tak jarang memunculkan persinggungan dengan entitas keberagamaan lain. Terlebih, jika artikulasi keberagamaan ini berangkat dari tafsir yang berbeda dari pemahaman mainstream.

Inilah yang menjadi sebab terjadinya konflik antar aliran belakangan ini. Fakta itu setidaknya bermunculan dalam lima tahun terakhir. Dalam kesimpulan Roibin, jika persinggungan keberagamaan ini tidak bisa dikelola dengan arif tentunya akan terjadi konfllik identitas dan kepentingan yang salah satunya manifest melalui kasus-kasus penyesatan yang terjadi.

Itu yang setidaknya terungkap dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Perempuan Antar Umat Beragama (PAUB) beberapa saat yang lalu. Diskusi seperti ini mengingatkan saya kepada sosok Yusman Roy, penggagas sholat dua bahasa yang kini sudah menghirup udara bebas setelah dua setengah tahun meringkuk dalam bui. Saya kemudian berandai, jika saja Yusman Roy tidak terlalu ekspresif dalam menyuguhkan tafsir minornya tentang sholat dengan dua bahasa, mungkin dia tidak perlu berjibaku dalam ruang labirin yang berkepanjangan. Pada titik ini, apa yang dikatakan Roibin di atas ada benarnya. Saya kemudian berguman, mengapa Yusman Roy bersusah payah meladeni media massa yang mengakibatkan dia harus berkonfrontasi dengan banyak orang? Mengapa dahulu dia menyebarkan ratusan brosur dan puluhan VCD sekedar mengundang orang untuk mengetahui dan bisa memahami apa yang dia ijtihadkan? Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian muncul dan seakan menyalahkan Yusman Roy, mengapa dia berambisi mengajak semua orang untuk mengikuti “kebenaran” yang dia dapatkan?

Sudahlah Gus, untuk sekarang yang penting adalah bagaimana sampean bisa leluasa menjalankan ibadah sesuai dengan yang sampean yakini beserta keluarga dan jamaah di sini. Demikian pesan yang sering saya sampaikan ketika beberapa kali berkunjung dan berdiskusi di padepokannya di Desa Sumber Waras, Kecamatan Lawang Kabupaten Malang. Agama dan keyakinan seharusnya menjadi ruang privat sehingga tidak ada satu orangpun berhak untuk mengadili.

Fatwa sesat juga dialami oleh Ali Thoha, seorang pengasuh pesantren di Desa Ngajum. Pesantren milik Ali Thoha ini adalah pesantren sederhana yang sudah ada sejak 40 tahun yang lalu. Memang santrinya tidak banyak, tidak ada papan nama, tidak ada listrik, tidak ada telepon, dan pengasuhnya sangat jarang bersentuhan dengan dunia luar. Pesantren di Dukuh Lowokgempol Desa Ngajum Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang ini menurut saya lazimnya seperti pesulukan thoriqoh tempat para penyuka lelaku melakukan riyadhoh, tempat mereka melakukan uzlah sejenak dari dunia yang fana’, dari gemerlap materi yang melenakan. Tapi mengapa pesantren ini mendapatkan fatwa sesat dai MUI?

Kabar yang berkembang di masyarakat menyebutkan bahwa ajaran yang dikembangkan oleh Ali Thoha adalah sesat karena sholat tidak wajib. Yang dianjurkan dalam ajaran pesantren ini adalah puasa seumur hidup. Kabar inilah yang dijadikan MUI untuk menakar “kualitas kebenaran” ajaran Ali Thoha. Berbagai rujukan dalil ditumpahkan dalam SK MUI sekedar untuk menegaskan bahwa sholat adalah syariat yang wajib. Al farqu bainana wa baina hum ash sholah, faman tarokaha faqod kafaro. Hadits yang disitir dari Kitab Riyaadush Shaalihin ini adalah salah satu dalil yang sempat terbaca dalam draf surat fatwa itu. Rasa penasaranpun menuntun saya untuk mencari tahu mengapa ajaran Ali Thoha disesatkan. Ketika berkunjung ke Ngajum, putera Ali Thoha menjelaskan kepada saya bahwa yang dia ajarkan adalah sholat sirri, sholat yang dilakukan dengan sembunyi. Dia dan ayahnya tidak pernah mengajarkan bahwa sholat tidak wajib.

Kasus Ali Thoha jelas berbeda konteksnya dengan kasus Yusman Roy. Menurut pengamatan saya, Ali Thoha dan pengikutnya tidak ekspresif dalam menjalankan keyakinannya. Bahkan komunitas di pesantren ini nampak sangat tertutup sebagai buah dari prinsip wara’ yang mereka pegang. Sebagai outsider, kita mungkin tidak terbiasa mendialogkan perbedaan secara arif dan berimbang, sehingga memandang the others dengan sudut pandang sepihak. Bahkan ada sebagian dari kita tidak terbiasa dan tidak bisa untuk berbeda. Ketika ada sesuatu yang berbeda selalu dianggap “aneh”, salah, bahkan harus dimusuhi.

Konon orang bijak berkata bahwa perbedaan adalah rahmat. Rahmat tuhan tentu harus kita syukuri. Ketika pluralitas hidup meniscayakan keragaman cara orang dalam mengartikulasikan nilai-nilai hidup, mengapa anugerah itu tidak kita sambut dengan suka cita? Tuhan terlalu agung untuk dimiliki satu umat, apalagi satu orang saja. Tuhanpun juga amat pengasih sehingga Dia membukakan jutaan bahkan milyaran pintu bagi makhluq nya untuk bertemu dengan-Nya. Jalan menuju tuhan terlalu sesak jika harus ditunggalkan. Agamapun terlalu kaya jika hanya ditafsirkan oleh satu warna. Kontekstualitas yang berakar pada dimensi ruang, waktu, dan dimensi subyektif, niscaya selalu hadir dalam menafsirkan dan mengartikulasikan ajaran agama.

Perbedaan tafsir sah-sah saja. Hanya, cara mengekpresikannya butuh kebijaksanaan. Salah satunya adalah melalui dialog. Dialog yang memberikan mashlahat adalah dialog yang dilambari spirit saling memahami dan saling membuka diri (open mainded). Dialog yang bertujuan memaksakan kebenaran apalagi untuk menghakimi, tidak akan memberikan kemanfaatan apapun. Tuhan tidak akan merasa terbela, bahkan Dia akan merasa sedih karena nama-Nya dan firman-Nya dijadikan alat untuk bertengkar. Keberadaan institusi agama yang difungsikan untuk menghakimi keyakinan sudah saatnya untuk direnung ulang. Jika ada “aliran sesat” biar tuhan sendiri yang menghukumnya nanti di hari pembalasan. Siapaun tidak berhak menghakimi keyakinan orang lain. Apa ukurannya seseorang dinilai sesat?

Bayangkan, jika MUI dikuasai oleh kalangan liberal tentu lembaga ini akan difungsikan untuk menyesatkan kelompok konservatif. Jika MUI dikuasai oleh Syi’ah pasti akan digunakan untuk menyesatkan kaum Sunny. Bagaimna jika Ketua Umum MUI Pusat dipegang oleh Yusman Roy, atau Ali Thoha, ataupun Abu Yatim? Sekali lagi, MUI ataupun institus agama sejenis tidak akan memberi mashlahat jika tugasnya menentukan mana yang sesat dan mana yang tidak sesat. MUI seharusnya menjadi jembatan dialog antar perbedaan tafsir sehingga menjadi kekayaan umat. Di sini, MUI ditantang untuk membuktikan bahwa perbedaan adalah rahmat.

Tujuan orang untuk beragama bukan untuk menimbang kebenaran yang dimilikinya apalagi mengkoreksi keyakinan orang lain. Agama adalah mata air yang darinya kita timba kejernihan untuk menyegarkan semesta dan memberikan kesejukan kepada penghuni dunia. Perbedaan penafsiran seharusnya menjadi alasan untuk berlomba memberikan yang terbaik bagi kemanusiaan, keadilan, moralitas dan cinta kasih. Jika penganut agama dan keyakinan bisa menempatkan agama seperti ini, maka perbedaan hidup akan berubah menjadi rahmat bagi semua, dan agama mewujud menjadi berkah bagi semesta alam.

Red: UBLIK adalah Kolom Levi Riansyah, Direktur Pusat Studi dan Pengembangan Kebudayaan (PUSPeK) Averroes, dan menjadi Penanggungjawab Majalah Jelajah Budaya online ini

L. Riansyah

1 komentar:

  1. Sholat dengan bahasa Indonesia ini adalah sudah nyata teruji kebenarannya dan tidak termasuk perbuatan menodai agama Islam.
    DEMIKIAN AMAR PUTUSAN PN.SURABAYA, PT.SURABAYA, MA.JAKARTA. NO.75 K / PID / 27 JAN 2006.

    Dengan demikian TAMATLAH SUDAH segala hujatan yang sudah pernah kami terima dari pihak manapun, berikut dengan SEGUDANG DALIL argumentasinya MUI yang telah memfonis sesat dan menodai agama Islam terhadap hasil ij'tihad kami sebagai hamba Allah yang sangat menginginkan perbaikan kualitas ibadah menyembah / sembahyang.

    ALLAH HUAKBAR ...Ternyata pada finalnya Allah berkenan dengan segala kuasa-Nya membuktikan kebenaran-Nya sebagaimana firman-Nya tersebut dibawah ini;

    17:81. Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap (cepat atau lambat).

    BalasHapus