Senin, 19 Oktober 2009

Gejolak Psikososial Mereaksi Paradoks Keimanan, Analisis Kasus Yusman Roy

Oleh : M. Mahpur *

Ustadz Mohammad Yusman Roy (Gus Roy), seorang pengasuh pondok I’tikaf Jamaah Ngaji Lelaku di Lawang Jawa Timur, April-Mei 2005 sempat membuat geger kaum muslimin. Dia berijtihad dengan membolehkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua dalam shalat. Peristiwa ini tidak hanya membuat kalangan umat Islam gundah, namun kasusnya telah sampai ke kepolisian karena dianggap pendapatnya sebagai buah dari penistaan terhadap agama tertentu (Islam).

Sebuah feomena keberagamaan yang ditanggapi secara destruktif, tidak lagi menghargai dialog santun dan ramah-tamah sehingga keberagamaan semacam itu dianggap sebagai perilaku sesat yang menisbatkan kepada bentuk-bentuk kekafiran atau kemurtadan. Sementara kalau dikaji secara lebih mendalam Gus Roy merupakan fenomena yang menggambarkan sebuah pergeseran spiritualitas dalam menangkap dinamika ketuhanan dan usaha bagaimana seseorang memilih jalan berdialog dengan tuhan agar secara mudah dipahami dan dimengerti, up date. Bagaimana peristiwa ini bisa dikaji secara psikologis untuk menangkap dinamika batin manusia dalam mencari pencerahan spiritualitasnya sembari mendialogkan peristiwa itu secara lebih terbuka, dialektis dan komunikatif. Dalam konteks dialog batin, tulisan ini ingin mengulas dengan duduk persoalan tanpa memandang itu sebagai kesesatan.

Mari mencoba mengingat kembali status inkuisisi Syeikh Siti Jenar yang akhirnya dihukum mati karena ajarannya telah melawan arus-utama agama resmi. Namun, dari sebuah uraian sejarah dinyatakan bahwa kesalahan Syeikh Siti Jenar bukan semata ajaran manunggaling kawulo gusti yang sebenarnya oleh walisongo tidak merupakan hal tabu dalam dunia sufisme, melainkan inkuisisi kematian Jenar sebagian dilandasi oleh nilai kebencian karena ada motivasi politik di mana Jenar tidak lain adalah penganut Syi’ah dan perselingkuhan politik dengan kerajaan Pajanglah yang juga menghidupi aliran Syi’ah menyeret Jenar diadili dengan menggunakan hukum syari’at yang implisit itu didukung oleh basis kekuatan kerajaan Demak yang menganggap Pajang sebagai ancaman (Muljana, 2005).

Di sini dapat diambil kesimpulan bagaimana perselingkuhan syari’at dan kekuasaan tidak menerima spiritualitas Jenar yang itu absah dari aspek tasawufnya tetapi dianggap mengganggu stabilitas otoritas kuasa sehingga hukum syari’at akan didahulukan seiring kesejajarannya dengan kepentingan kekuasaan ketimbang pemahaman atas status spiritualitas seseorang.

Selalu ada konflik ketika spiritualitas dihadapkan dengan agama resmi dan kekuasaan (kepentingan politik) yang ikut terlibat dalam menentukan arusutama (mainstream) spiritualitas orang-orang beriman menambah deret panjang dinamika keberagamaan. Napak tilas sejarah orde baru juga menjadi catatan sejarah di mana spiritualitas agama begitu dikendalikan oleh kekuasaan politik sehingga beberapa kasus aliran kebatinan, yang dianggap sebagai kelompok yang dicurigai akan berbuntut terbentuknya agama baru, telah dimasukkan sebagai daftar aliran kelompok subversif.
Padahal dari pengalaman penulis bergaul dengan beberapa penganut kebatinan, perkumpulan kebatinan tidak lain hanyalah sebuah komunitas yang hendak mempertajam spiritualitas batin menuju tuhan dan jauh dari keinginan membuat agama baru. Ada semacam nilai psikologi yang tidak dipahami oleh kekuasaan dan nilai syar’inya dalam membaca setiap praktik keagamaan.

Menurut perspektif psikologi transpersonal, wilayah spiritualitas dan keagamaan didalam psikologi memiliki ranah psikis yang berbeda sehingga keduanya harus dipahami dalam konteksnya masing-masing. Persoalan fenomena psiko-spiritual adalah nilai jiwa yang terangkum dalam berbagai kasus langsung berkaitan dengan eksistensi kepercayaan yaitu perasaan dan cara kehadiran tuhan dalam diri manusia, ekstase, hakikat kematian, kebermaknaan yang semua itu menembus batas-batas formalitas di gereja, masjid atau syari’at resmi yang berupaya menuju tuhan secara langsung. Realitas ini harus dipahami dalam konteks kedalaman dunia batin seseorang.

Persoalan psiko-religius
Dalam setiap momen keberagamaan, seseorang dihadapkan pada berbagai peristiwa psikologis yang berubah secara gradual, bertahap, dan bersifat evolutif, namun juga ada realitas yang muncul sebagai gejala perubahan psikologis yang tiba-tiba dan memuat sejumlah peristwa radikal, obsesif atau menurut persepsi umum dianggap tidak normal.

Menurut William James dalam sebuah buku monumentalnya menjelaskan fenomena tersebut ke dalam peristiwa terjadinya konversi agama. Secara eksplisit konversi agama dapat dikatakan sebagai perubahan spiritual karena adanya perubahan ide, seperti episode pencerahan emosional secara tiba-tiba (sudden convertion), terjadi secara mendalam atau permukaan, atau terjadi secara perlahan-lahan (gradual convertion) (James, The Varieties of Religious Experience : A Study of Human Nature, 1958). Berdasarkan ide James, konversi agama memiliki dua kemungkinan yaitu perubahan sikap beragama menjadi lebih radikal dalam arti abnormal, tidak seimbang, kurang produktif, normatif, doktriner. Kemungkinan kedua menjadikan sikap beragama seseorang lebih terbuka, rasional, inklusif, esoterik. Oleh karena itu ada dua kemungkinan konversi, yakni sifatnya destruktif seperti kasus bunuh diri beberapa penganut aliran tertentu di Jepang dan bersifat ramah seperti persoalan spiritualitas shalat Gus Roy.

Kasus seperti Gus Roy seharusnya dilihat dari unsur psikologis yang mengikuti perubahan praktik keagamaan dan femonema spiritualitas yang bergerak inheren dalam pribadi manusia sebagai pengalaman konversi yang nyata. Fenomena spiritualitas Gus Roy, jika dibaca dalam konteks definitif agama James merupakan realitas agama personal, yakni agama sebagai sebentuk “perasaan, tindakan, dan pengalaman manusia secara individual dalam keheningan mereka, sejauh mereka memahami diri mereka berada dalam hubungan dengan apa pun yang mereka pandang sebagai yang Ilahi”.

Menilik kinerja psikologis dalam melihat fenomena agama, maka akan lebih arif ketika itu dilihat dalam ranah trans-personal dimana agama selalu melibatkan dinamika psikis manusia menyangkut cara bagaimana seseorang memaknai peristiwa ketuhanannya agar bisa menghindari kehampaan rutinitas ritual dari setiap pengamalan agama. Oleh karena itu fenomena shalat jika ia dihidupi oleh spiritualitas pengamalnya, maka pemaknaannya pun selalu mengalami pergeseran dan keragaman peristiwa. Yang terpenting bukan menghukum setiap peristiwa batin (spiritualitas) dengan pasal 156 KUHP tentang penistaan terhadap ajaran agama dan fatwa MUI tanpa mengenal lebih mendalam situasi batin seseorang, namun bagaimana spiritualitas sebagai pengalaman esoterik dihidupi oleh dialektika batin yang saling mencerahkan, mengenali terlebih dahulu proses metamorfosis batin pengalaman keagamaan seseorang atau komunitasnya bukan menyalahkan.

Gus Roy pernah dihukum 3 tahun penjara atas pendapatnya tentang shalat dwibahasa oleh Pengadilan Negeri Kabupaten Malang. Hukum ini telah menyisakan sebuah pertanyaan bagaimana spiritualitas bisa dihadang dengan perangkat hukum tanpa memberi ruang batin lahirnya inter-rasionalitas dan berbagai perjumpaan batin yang saling berdialog. Ini telah memisahkan suasana batin keagamaan dengan bahasa hukum. Bahasa hukum adalah bahasa kuasa yang mengambil konteks relasi atas dasar formalitas tekstual yang bertentangan dengan sifat bahasa spiritualitas yang subtil, sulit terjangkau dan harus diselami berdasarkan sense, feeling, dan makna dari masing-masing orang. Pengingkaran lain juga lahir dari Majelis Fatwa MUI yang fatwanya tidak didasari oleh kekuatan pengetahuan psikologis Yusman Roy, dan bahkan Fatwa itu lahir tanpa dasar pengetahuan langsung berdialog dengannya. Ada kesan batas pengetahuan spiritualitas yang tidak berusaha dibongkar untuk mendiskusikan persoalan shalat dwibahasa.

Dialektika rasa tentu berbeda dengan dialektika bahasa hukum. Pergeseran ranah inilah sebenarnya telah mengingkari persoalan pokok problem spiritualitas. Oleh karena itu, secara psikologis, kasus sejenis Yusman Roy harus dikembalikan kepada ranah psiko-spiritual atau religius dan bukan pada proses hukum. Artinya, bahwa proses hukum hanya menjadi sarana penekan kebebasan spiritual dan tidak menjawab konsep dasar spiritualitas shalat sekaligus justru mempersempit cakupan agama itu sendiri menjadi sebuah dialog yang tidak ramah.
Mengacu pada tulisan David Lucoff (1998) di Journal of Humanistic Psychology, 38 (2), yang membandingkan antara dua persoalan psychoreligious problem dan psychospiritual problem, dengan mengkorversikan ke dalam diagnosis DSM-IV sebagai bagian dari persoalan yang bukan termasuk ke dalam atribusi gangguan mental. Di situ dijelaskan bahwa persoalan psikoreligius menyangkut sebuah pengalaman seseorang karena menemukan persoalan yang berkaitan dengan dan melibatkan kepercayaan, praktik yang terorganisir dalam insitusi agama seperti kehilangan atau mempertanyakan keteguhan keimanan, perpindahan keanggotan denominasi, konversi ke sebuah keyakinan baru, atau intensifikasi mengenai kesetiaan terhadap praktik agama dan ortodoksi. Di sini Yusman Roy telah mengalami pergeseran (konversi) dari aspek institusi sholatnya dengan mengkonversi bahasa arab dengan bahasa Indonesia (lokal). Perubahan ini jelas berimplikasi terhadap berubahnya konstruksi institusi agama (sholat). Persoalan ini juga tidak bisa diselesaikan dalam konteks bahasa itu sendiri sebelum kemudian dianalisis berdasarkan fakta-fakta psikologi sebagai cara bantuk mendiagnosis persoalan pokok dari nilai transenden sholat itu. Ini kemudian akan dijembatani dalam upayan mendiagnosis problem spiritualnya.
Persoalan psikospiritual dijelaskan menyangkut persoalan pengalaman seseorang menemukan pernik masalah atau tekanan yang melibatkan situasi kekuatan transenden. Persoalan ini tidak terkait dengan adanya indikasi kesetiaan keyakinan dan praktik peribadatan yang terorganisir. Pengalaman ini semisal dalam bentuk pengalaman menjelang kematian (Near-Death-Experience) dan pengalaman mistik (mystical experience). Pengalaman mistik yang dimaksud adalah rangkaian kesementaraan yang ditandai oleh pengalaman menyatunya perasaan, harmoni ilahiah dan semua ada dalam keadaannya, seperti ephoria, menembus batas, hilangnya fungsi-fungsi ego, pergeseran persepsi ruang dan waktu, dan perasaan yang bebas dari situasi terkontrol. Dengan demikian persoalan Yusman Roy menyangkut dua persoalan itu, yakni problem psiko-religius dan spiritual.
Pada aspek psiko-religius, bahasa shalat adalah fakta dogmatik yang membuka adanya kemungkinan diferensiasi budaya dan logat bahasa. Perbedaan segi bahasa terletak pada nilai bahasa pengungkapan terhadap makna batin. Artinya, bisakah batin itu diwakili oleh sebentuk bahasa pengungkapan, ekspresionis, atau gerak tubuh dengan komprehensif. Sementara relatifitas bahasa dan gramatikalnya yang disusun terstruktur rapi telah membatasi keluasan makna dan perasaan si pengungkap. Di sinilah bahasa hanya sebagai alat bantu kepuasan batin yang ditransformasikan antara dua sisi kognitif dan afektif. Sementara tantangan spiritualitas adalah gugus fenomenologis yang ditangkap dari perasaan tindakan bersholat dengan segala perangkat yang mengiringinya. Sedangkan dari aspek tinjauan psikospiritual problem terjadi transformasi kesadaran dalam menjawab kebutuhan sholat yang akan memengaruhi keputusannya dalam menggunakan bahasa kedua dalam shalat.
Spiritualitas bertarung melawan “politik” kesesatan
Kemapanan sebuah otoritas agama yang terus menerus secara psikologis akan membawa implikasi terhadap munculnya pola-pola resistensi sebagai bias dari kejenuhan psikis penganutnya yang selalu menjadi bagian penting peristiwa keagamaan karena kemapanan agama tidak lagi membawa implikasi kepuasan batin penganut sehingga dari setiap sejarah spiritualitas kasus penyimpangan praktik keagamaan akan selalu ada. Disinilah sebenarnya spiritualitas agama harus hadir dalam kerangka dialog batin sehingga ajaran agama tidak sebatas ketaatan ritual yang menjadi rutinitas yang mengeringkan pemaknaan agama.
Ada ketakhadiran spiritualitas dalam beragama dan agama tidak lagi hadir dengan keramahan, akan tetapi selalu dilekati bayang-bayang kekerasan, pedang, fatwa otoritatif, dan pasal-pasal KUHP ketika ada sebagian orang hendak mendialogkan situasi batinnya. Nampaknya ada gerakan reaktif dalam menghadapi gelombang spiritualitas keagamaan yang mulai mengancam pengamalan-pengamalan agama resmi.
Jika agama-agama menanggapi reaktif dan defensif pengalaman keberagamaan justru akan jatuh pada kondisi stagnasi dalam meraih derajat kesepahaman spiritualitas atau bisa disebut agama telah jatuh pada kefakuman pemaknaan spiritual, yang oleh psikiater Victor E. Frankl sebagai gejala munculnya noogenic neurosis (kehampaan spiritual). Spiritualitas agama tidak lagi hadir dalam nalar perjumpaan yang saling mengisi pengayaan batin seseorang menuju hidup bermakna akan tetapi dibayangi oleh “politik kesesatan” dan dianggap sebagai tindakan subversif yang hadir kemudian tatkala seseorang hendak melakukan transformasi batinnya, dan dengan begitu apakah dialektika spiritual tidak lagi memiliki ruang bebas dalam mengekspresikan pengalaman beragama seseorang?
Menurut Ebrahim Mossa (2004: 39) yang merujuk pendapat Sachedina bahwa munculnya pengadilan pengafiran atau pemurtadan terhadap kelompok atau individu yang menyimpang dari ajaran resmi agama dalam sejarah keislaman lebih bernuansa politik dari sekedar persoalan agama. Dalam sistem kerajaan yang mendominasi sejarah Islam, hukuman bagi orang kafir atau murtad menjadi sesuatu yang wajib karena lebih mempertimbangkan praktik politik bahwa persoalan yang mengancam agama dengan demikian juga akan mengancam otoritas negara. Hal ini dianggap melebihkan hukuman kafir atau sifat-sifat pandangan yang dianggap menyesatkan menjadi persoalan subversif untuk tujuan mengukuhkan hegemoni negara.
Pada dasarnya al-Quran memberikan peluang kebebasan dalam beragama namun karena keadaan yang belum stabil dan realitas politik pada masa awal-awal perkembangan Islam akhirnya menuntut batasan terhadap pemahaman kata kebebasan itu. Ketika kemudian negara menjadi pelindung agama Islam maka konsekuensinya apa yang dianggap sebagai ancaman negara dengan demikian dianggap juga sebagai ancaman terhadap agama. Sachedina menjelaskan bahwa “secara teori dan praktik tekanan ajaran al-Qur’an terhadap kebebasan beragama kehilangan landasannya dan agama Islam bertahan melawan tekanan dan serangan dari luar. Pertahanan dengan menggunakan kekuasaan secara bertahap memberi jalan untuk munculnya hukum dan kebijakan politik yang agresif”.
Dus, spiritualitas akan menjadi persoalan yang tumpang tindih dengan otoritas politik dan sejumlah asumsi yang mendasari mekanisme pertahanan diri dari kekuasaan yang menopang berjalannya proses hegemonik dan akhirnya fatwa kesesatan selalu berpihak pada realitas politik perlindungan diri dari ancaman-ancaman yang merongrong status quo dari hal-hal yang tidak menguntungkan secara politik.

Keimanan Tidak Sekedar Menghardik
Agama sebagai fenomena psiko-sosial yang terbingkai dalam ruang dan waktu mengalami perkembangan berdasarkan hukum pergeseran peradaban yang melekat dalam beragam dinamika (gejala) psikologis, antropologis dan sosiologis. Ketiga horison ini akan mendorong munculnya ragam perilaku beragama sebagai cerminan dari kondisi individualitas, budaya, dan kelompok massa, sehingga agama menjadi konteks dunia kemanusiaan dan bukan dunia Tuhan. Suatu pendekatan yang memandang agama dari spektrum gerak dan langkah keberadaan manusia (human being). Apapun yang disebut agama adalah lokalitas kemanusiaan.

Duduk perkara ini akan digunakan untuk menanyakan hubungan agama dengan manusia, dan bukan hubungan agama dengan Tuhan. Yang terakhir ini menurut penulis sudah selesai, bahwa ketika Tuhan telah mewahyukan suatu kabar gembira, selanjutnya urusan manusia untuk mengeksplorasi pesan ilahi itu dan tuhan telah membebaskan manusia dari pilihan percaya dan tidak percaya. Semua diserahkan pada keputusan manusia.
Perkembangan teologi yang memunculkan semangat pengkafiran, pemurtadan sekaligus intimidasi ketidaksepahaman terhadap sebuah pendapat dan akhirnya harus berbuntut penyerbuan terhadap komunitas agama tertentu atau memunculkan sejumlah fatwa sepihak tanpa memberikan dialog dan artikulasi keimanan seperti demikian sebenarnya merupakan salah satu fenomena historis yang bermuara pada corak kepribadian massa, struktur sosial-politik yang menjadi seting penafsiran sebuah pesan tuhan dan budaya lokal yang melahirkan tradisi berpikir tertentu dalam memahami, menerima, dan menerapkan ajaran agama.

Deus dixit, begitulah Sabda Tuhan, yang menurut kata Peter L. Berger (1992) dalam buku yang berjudul, “Kabar Angin dari Langit”, adalah suatu penemuan bagaimana pertentangan teologi antara Neo-ortodoks (Kristen) dengan paham liberalisme (Protestan) sekitar awal abad 19 yang secara antropologis menjadi pemicu persengketaan di dalam menjelaskan hubungan antara manusia dengan tuhannya.
Titik pijak pengertian yang berbeda dalam memahami lahirnya antropologi teologis yang mana penganut liberalis lebih menekankan adanya berbagai jalan menuju Allah sebagaimana aliran eksistensialisme yang menorehkan eksistensi manusia untuk bebas menentukan pilihan. Artinya agama dipahami mulai dari bagaimana manusia itu mencari jalan menuju Allah dan mengabaikan hubungan monologis Tuhan-manusia. Kalangan Neo-ortodoks, seperti penjelasan Berger, sangat anti terhadap pendekatan demikian, bahwa “tidak ada pendekatan apapun dari manusia kepada Allah. Yang ada hanyalah dari Allah kepada manusia dengan jalan pewahyuan ilahi yang secara keseluruhan merupakan aktivitas Allah. Jadi tidak berakar sama sekali pada kodrat dan kondisi manusia” (hlm. 63).

Dari kalangan Neo-ortodoks ini maka Deus dixit kerap digunakan sebagai nalar pembelaan mereka terhadap kaum liberalis sebagai jalan penolakan terhadap segala unsur yang membebaskan manusia dari kisah-kisah teks kepatuhan manusia terhadap tuhannya. Bahkan struktur pemikiran itu menjadi logika munculnya pengadilan bagi kaum liberalis yang dianggap menghina, atau menyelewengkan agama murni.

Kasus ini sangat banyak muncul di Indonesia, terutama ketika persengketaan kaum fundamentalis dengan golongan yang menamakan liberalis menuai konflik. Bagi kaum fundamentalis, keberagamaan yang murni adalah mewarisi cara “beragama nabi” dengan menerapkan apa yang tertera dalam Al Qur’an dan Hadits. Walaupun substansi pendapat ini “benar” dari segi maknanya, namun praktek-praktek keberagamaan kaum fundamentalis menciptakan kontroversi-sadisme atas pemikiran teologis yang mereka kembangkan dan bahkan pemikiran itu menjadi fundasi praktek keberagamaan mereka.
Sadisme merupakan manifestasi perilaku manusia yang dimotivasi oleh persepsi yang dibangun dari ketidaberesan situasi psikologis seseorang. Ketika teologi bersanding dengan perilaku sadisme maka keberagamaan semacam ini akan melahirkan baik pemikiran atau tindakan agresif, entah dalam bentuk mencemooh, memaki, dan menyerang karena alasan ketidaksepahaman terhadap apa yang diyakininya. Teologi sadisme oleh karenanya disebabkan karena atribusi agama hanya dijadikan komoditas personal terhadap pilihan kebutuhan individu, kelompok atau ideologi.

Di dalam sejarah teologi Islam, “teologi sadisme”, seperti pengkafiran, pemurtadan, bahkan eksekusi mati terhadap seseorang karena perbedaan keyakinan, telah menyebabkan warisan pemikiran teologi Islam mandek hanya pada perbatasan-perbatasan Islam, kafir, murtad yang sifatnya formal dan simbolis.
Sementara harus disadari bahwa teologi merupakan interpretasi dan persepsi manusia tentang tuhan sehingga manifestasi dari hasil interpretasi dan persepsi mustahil menjadi sesuatu yang mesti benar. Oleh karenanya teologi itu sebenarnya merupakan wilayah imajiner yang dikembangkan menjadi beragam gambaran pandangan atau pendapat atas apa yang telah berhasil dipikirkan manusia dalam menangkap ide (pesan) Tuhan. Dalam arti kata, kebenaran yang muncul tidak bisa dilepaskan dari struktur kognisi seseorang didalam mempersepsikan siapa tuhan sampai batas akhir membentuk sebuah keyakinan seseorang yang diimplementasikan dalam berbagai interpretasi atau pendapat sehingga ia bisa patuh atau tunduk, yang biasa disebut seseorang menjadi telah beriman. Oleh karena itu kebenaran teologi bersifat parsial, yakni kebenaran keimanan yang ada di dalam pikiran manusia yang mereduksi bagian-bagian kebenaran Tuhan yang bersifat absolut.

Jika ini disadari oleh kelompok-kelompok agama, maka persoalan teologi dan berbagai pendapat atau interpretasi terhadap wahyu tuhan adalah persoalan bagaimana manusia mempersepsikan dunia tuhan, wahyu atau ajaran agama. Sedangkan bagaimana kaum agama berteologi itu tergantung pada kebutuhan (needs) yang sifatnya personal atau sosial, dan bukan merupakan kebutuhan tuhan. Sama halnya Tuhan menurunkan wahyu, ia hanya untuk kepentingan kehidupan manusia dalam rangka memberi petunjuk bagaimana mengatur dunia menjadi lebih baik bukan untuk kepentingan Tuhan.

Oleh karena itu apa yang diwahyukan Tuhan menjadi urusan manusia untuk diejawantahkan dalam bingkai kemanusiaan. Jika kesadaran pewahyuan semacam ini menjadi arus utama pemikiran keagamaan, niscaya pola logika yang mengatakan “deus dixit” bisa dihindari dari berbagai perangai yang menutup logika debat menjadi semata-mata mewujudkan pembelaan “begitulah sabda tuhan” tanpa disertai unsur bahwa pluralitas pemahaman kita terhadap wahyu tuhan diperlukan karena suatu pemikiran membutuhkan ruang terbuka agar bagaimana isi pesan tuhan itu bisa mendinamisasi kehidupan manusia dan bukan meniscayakan pengingkaran pada inklusifitas dialektis atas cara kita beragama. Dan karena inilah kemudian sikap beragama begitu sadis dan destruktif yang membawa pada perilaku agresif dalam menyampaikan pesan tuhan dan dipenuhi oleh situasi truth claim.

Sebagai agama kemanusiaan (rahmatan li al alamien) selayaknya keberagamaan saat ini didukung oleh sistem komunikasi yang demokratis karena menghadapai sejumlah dinamika kemanusiaan yang nota-nebe memiliki hukum pluralitas seperti ditegaskan oleh Edmund Aren, no liberation without communication, but also no communication without liberation (Bastone & Mendieta, 1997:21), bahwa kemerdekaan harus didukung oleh komunikasi, begitu sebaliknya tanpa komunikasi maka kemerdekaan menjadi suatu ironi. Begitulah kiranya apa yang hendak dibangun atas cara kita beragama. Itu artinya, realitas kemanusiaan yang cukup beragam membutuhkan cara berfikir rasional yang dialektis dan bebas sembari mencari sebuah konfigurasi bersama tentang cara menghadapi berbagai kemelut dari sekian persoalan hidup yang dihadapi manusia, yang tentu bertujuan menggalang transformasi kehidupan lebih berkualitas.

Allah berfirman, “dan Dia tidak sekali-kali menjadikan untuk kaum dalam agama suatu kesempitan” (QS 22;78), dan patut kita renungi bahwa jika Allah saja telah membuka pintu rahmat selebar-lebarnya, mengapa kita malah menutup pintu rahmatnya. Inti dari sebuah dinamika spiritual sebaiknya tidak dilihat dari status ancaman pilihan dari ungkapan ketuhanan seseorang yang menjelma dalam berbagai praktik yang berbeda dari azas kepantasan (mainstream) agama itu dan selalu dihadapkan oleh politik kesesatan yang datang karena ketidaksepahaman spiritualitas, melainkan spiritualitas itu mulailah diberi ruang dialektis untuk mencari sebuah pengayaan batin yang lebih luas dalam beragama sehingga pengalaman ketuhanan disadari dalam seluruh kerangka esoteris yang saling melengkapi terhadap berbagai pengalaman yang berbeda tanpa menciptakan sebuah nilai-nilai anarkhis dalam beragama.
Keyakinan adalah fakta berbeda karena daya tangkap transendensi yang juga majemuk. Tuhan adalah satu, namun realitas psikologis telah memberi sebentuk kreatifitas spiritual yang membuka tumbuhnya wawasan kognitif yang bergeser dalam beragam kesadaran dan kebutuhan.

*) Penulis Adalah Pengurus Lakpesdam NU Kota Malang

4 komentar:

  1. Salam Rahmat Dan Berkat Dari Allah Untukmu Dan Juga Untuk Semua Hamba-HambaNya.

    BalasHapus
  2. Islam tidak identik dengan bahasa Arab dan Islam itu identik dengan ahklak / moral / budi pekerti yg luhur.
    Islam itu juga berperan untuk mencerdaskan manusia yang percaya kepada adanya Allah yg esa.
    Yg tidak bermoral, yg tidak berbudi pekerti yg luhur, mereka adalah bukan Islam.

    BalasHapus
  3. Sholat dengan bahasa Indonesia ini adalah sudah nyata teruji kebenarannya dan tidak termasuk perbuatan menodai agama Islam.
    DEMIKIAN AMAR PUTUSAN PN.SURABAYA, PT.SURABAYA, MA.JAKARTA. NO.75 K / PID / 27 JAN 2006.

    Dengan demikian TAMATLAH SUDAH segala hujatan yang sudah pernah kami terima dari pihak manapun, berikut dengan SEGUDANG DALIL argumentasinya MUI yang telah memfonis sesat dan menodai agama Islam terhadap hasil ij'tihad kami sebagai hamba Allah yang sangat menginginkan perbaikan kualitas ibadah menyembah / sembahyang.

    ALLAH HUAKBAR ...Ternyata pada finalnya Allah berkenan dengan segala kuasa-Nya membuktikan kebenaran-Nya sebagaimana firman-Nya tersebut dibawah ini;

    17:81. Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap (cepat atau lambat).

    BalasHapus
  4. Qur'an Indonesia terjemah itu adalah SETARA dengan Qur'an Arab.

    SESUATU ''MAKSUD ...,,ITU SUDAH PASTI DAPAT DISAMPAIKAN DENGAN MENGGUNAKAN MACAM-MACAM BAHASA DAN TENTU JUGA DAPAT DIPAHAMI DENGAN BERMACAM-MACAM BAHASANYA MANUSIA MANAPUN.

    AL QUR'AN YANG BERBAHASA ARAB ITU SUDAH PASTI DAPAT DITERJEMAHKAN DENGAN BERBAGAI MACAM BAHASA MANUSIA YANG ADA DIBUMI INI YANG TUJUANNYA UNTUK DIAMBIL MAKNA-NYA SEBAGAI PELAJARAN,

    YANG BERARTI BACAAN AL QUR'AN TEKS ARAB ITU DENGAN SENDIRINYA SUDAH MENJADI SETARA KETIKA DAPAT DIAMBIL MAKNANYA OLEH BAHASA MANUSIA MANAPUN.

    JIKA AL QUR'AN TEKS ARAB ITU TIDAK BOLEH DISETARAKAN DENGAN AL QUR'AN TEKS INDONESIA TERJEMAH,
    MAKA BERARTI AL QUR'AN TEKS ARAB ITU SAMA DENGAN HARAM / DILARANG UNTUK DIPAHAMI DENGAN BAHASA MANUSIA MANAPUN, DAN NYATANYA TIDAK DEMIKIAN.

    DAN ANDAI KATA AL QUR'AN TEKS ARAB ITU TIDAK BOLEH DISETARAKAN DENGAN MAKNA-NYA YANG DITERJEMAHKAN DALAM BAHASA INDONESIA INI,

    BERARTI SIA-SIA SAJA LAH MELAKSANAKAN APA YANG SUDAH DAPAT KITA PAHAMI SELAMA INI DARI AL QUR'AN TERJEMAH BAHASA INDONESIA ITU,
    DAN ITU TIDAK MUNGKIN TERJADI.

    Dengan demikian berarti sudah tidak ada yang salah dalam membaca dan memahami serta melakukan sembahyang / sholat itu dengan bahasa indonesia, SEBAB SHOLAT DENGAN BAHASA INDONESIA INI JUGA SUDAH SETARA DENGAN SHOLATNYA BANGSA ARAB YANG MENGGUNAKAN BAHASA ARABNYA ITU.
    DAN DALAM HAL INI YANG TERPENTING ADALAH MAKNA-NYA YANG HARUS DAPAT DIPAHAMI.

    JIKA SAUDARA DAPAT MEMAHAMI PENJELASAN KAMI INI, INSYAALLAH SAUDARA TIDAK AKAN FANATIK DAN MENGKULTUSKAN BAHASA ARAB ITU DALAM BERIBADAH KEPADA ALLAH.

    BalasHapus