Minggu, 18 Oktober 2009

Penolakan terhadap Kriminalisasi Keyakinan

Para ulama dan tokoh-tokoh agama seharusnya bisa memberi contoh yang baik (uswah hasanah) dalam menghadapi perbedaan pendapat. Klaim sesat menyesatkan hanya akan menunjukkan kekerdilan jiwa dan kesempitan akal budi. Oleh karena itu, tokoh-tokoh agama tidak semestinya mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tidak simpatik dan arogan, apalagi kepada orang (kelompok) yang hendak menghayati agamanya secara baik.

KASUS shalat dengan dua bahasa (Arab dan Indonesia) yang dilakukan komunitas “Pondok I’tikaf Ngaji Lelaku” di Malang Jawa Timur pimpinan Muhammad Yusman Roy, telah mengarah pada praktik persekusi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok agama yang tidak setuju dengan hal tersebut. “Pemegang” otoritas keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukan saja telah mengeluarkan “fatwa” yang menganggap sesat atas Yusman Roy dan pengikutnya, tapi juga telah menuduh mereka telah melakukan penodaan agama. MUI dan lembaga-lembaga yang mengklaim sebagai pemegang otoritas keagamaan terus-menerus memosisikan diri sebagai satu-satunya penafsir tunggal agama.

Lebih daripada itu, tata cara shalat a la Yusman Roy ini dipandang sebagai tindakan kriminal, sehingga pihak kepolisian segera memposisikan Yusman Roy sebagai tersangka. Kita sedang menyaksikan betapa negara telah ditarik terlalu jauh untuk mengeksekusi praktik keagamaan seseorang. Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan karena akan membawa dampak kurang baik atas kehidupan beragama di Indonesia. Kalau Roy Yusman dianggap sebagai orang yang “tidak tahu” tentang Islam, seharusnya para ulama mengedepankan cara-cara yang baik, bi al-hikmah wa al-mau’idhat al-hasanah, untuk menyampaikan kebenaran, bukan dengan melakukan persekusi, “fatwa sesat” apalagi diseret ke pengadilan dengan tuduhan penodaan agama. Apalagi Roy Yusman mempunyai “niat yang baik,” yaitu bagaimana agar orang yang shalat memahami apa yang dibacanya.

Jika dilihat lebih jauh, kasus ini sesungguhnya hanya merupakan perbedaan fiqhiyah biasa, dan salah satu ciri dari fikih itu sendiri adalah perbedaan pendapat. Shalat dengan dua bahasa bukanlah sesuatu yang sepenuhnya baru dalam diskursus fikih. Jauh sebelumnya, Imam Abu Hanifah (w. 150 H) sudah mempermasalahkan mengenai kemungkinan mengganti shalat dengan bahasa selain Arab. Dan harap dimaklumi bahwa dalam kasus perbedaan fikih, tidak ada seseorang atau lembaga keagamaan manapun yang memiliki otoritas mutlak untuk menjatuhkan vonis kepada fikih orang lain sebagai sesat, apalagi dianggap sebagai tindak kriminal. Apabila ada pihak yang mengklaim pendapat agama tertentu sebagai paling benar, pada hakikatnya mereka telah merampas hak prerogatif Allah.

Dengan memperhatikan hal tersebut kami menyerukan kepada semua pihak hal-hal sebagai berikut:

1. Agar umat Islam tetap menjaga ukhuwah Islamiyah dan tidak melakukan hal-hal yang anarkhis hanya karena perbedaan pandangan keagamaan. Perbedaan demikian harus dilihat sebagai kekayaan daripada sebagai ancaman.

2. Para ulama dan tokoh-tokoh agama seharusnya bisa memberi contoh yang baik (uswah hasanah) dalam menghadapi perbedaan pendapat. Klaim sesat menyesatkan hanya akan menunjukkan kekerdilan jiwa dan kesempitan akal budi. Oleh karena itu, tokoh-tokoh agama tidak semestinya mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tidak simpatik dan arogan, apalagi kepada orang (kelompok) yang hendak menghayati agamanya secara baik.

3. Umat Islam harus memahami bahwa apa yang dilakukan oleh Yusman Roy dengan shalat dua bahasa bukanlah prinsip atau pokok agama (ushul al-din), melainkan dahan atau tehnik agama (furu’ al-din).

4. Kepada pihak kepolisian agar tidak terjebak dengan tuduhan penodaan atas agama, karena apa yang terjadi pada Yusman Roy adalah khilafiyah fiqhiyah yang tidak ada kaitan dengan penodaan atas agama. Tata cara shalat a la Yusman Roy bukanlah tindakan kriminal yang membuat pelakukanya harus diadili dan dipenjara.

5. Kepada institusi negara agar tidak melakukan intervensi terhadap praktik-praktik keagamaan umat. Persoalan ritual dan keyakinan umat adalah wilayah pribadi yang tidak bisa diinfiltrasi oleh institusi negara. Negara adalah zona netral yang tidak selayaknya memasuki wilayah paling privat yang menjadi wewenang masing-masing individu.

Demikian pernyataan sikap ini kami serukan kepada semua pihak.

Yang Membuat Pernyataan

Nama-nama lembaga:

1. The Wahid Institute
2. Jaringan Islam Liberal
3. P3M
4. JIMM
5. Majalah Syir’ah
6. Lakpesdam NU
7. Desantara
8. Masyarakat Dialog Natar Agama (MADIA)
9. Gerakan Nasional Anti Diskriminasi (GANDI)
10. RAHIMA
11. Fahmina Institute
12. ICRP
13. ICIP
14. PPSDM UIN Jakarta
15. Maarif Institute
16. IPNU
17. IPPNU
18. GP ANSOR
19. PP Aisyiah
20. PP Nasyiatul Aisyiah
21. Pemuda Muhammadiyah
22. KMNU
23. Ahimsa

15/05/2005

1 komentar:

  1. Sholat dengan bahasa Indonesia ini adalah sudah nyata teruji kebenarannya dan tidak termasuk perbuatan menodai agama Islam.
    DEMIKIAN AMAR PUTUSAN PN.SURABAYA, PT.SURABAYA, MA.JAKARTA. NO.75 K / PID / 27 JAN 2006.

    Dengan demikian TAMATLAH SUDAH segala hujatan yang sudah pernah kami terima dari pihak manapun, berikut dengan SEGUDANG DALIL argumentasinya MUI yang telah memfonis sesat dan menodai agama Islam terhadap hasil ij'tihad kami sebagai hamba Allah yang sangat menginginkan perbaikan kualitas ibadah menyembah / sembahyang.

    ALLAH HUAKBAR ...Ternyata pada finalnya Allah berkenan dengan segala kuasa-Nya membuktikan kebenaran-Nya sebagaimana firman-Nya tersebut dibawah ini;

    17:81. Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap (cepat atau lambat).

    BalasHapus